A. Abad III Hijriah (Periode Kelima)
Periode ini disebut: Masa penyehatan Hadist.
Periode kelima ini dimulai sejak
masa akhir pernerintahan dinasti Abbasiyah angkatan pertama (Khalifah
Al-Ma’mun) sampai awal pemerintahan dinasti Abbasiyah angkatan kedua (Khalifah
Al-Muqtadir).
1. Keadaan Ummat Islam pada Periode lni
a. Pertikaian
faham dikalangan Ulama
Sejak abad kedua hrjry, telah
lahir para mujtahid di bidang fiqh dan dibidang ilmu kalam. Kehidupan ilmu
pengetahuan Islam pada abad ini sangat pesat. Antara para mujtahid Islam,
sesungguhnya tidaklah ada masalah. Mereka saling menghormati dan menghargai
pendapat-pendapat yang timbul. Tetapi lain halnya di kalangan para murid dan
pengikutnya. Mereka hanya baranggapan bahwa pendapat guru dan golongannya saja
yang benar. Sikap yang demikian ini mengakibatkan timbulnya bentrokan-bentrokan
antara mereka, termasuk para ulamanya.
Pada abad ketiga, bentrokan
pendapat itu telah makin meruncing, baik antar golongan mazhab fiqh, maupun
antar mazhab ilmu kalam. Ulama Hadits pada abad ketiga ini, menghadapi kedua
golongan tersebut. Terhadap pendukung madzhab fiqh yang fanatik, Ulama Hadits
harus menghadapinya, karena tidak sedikit di antara mereka berbeda pendapat
dalam memahami hukum Islam. Para pendukung madzhab fiqh yang fanatik buta, bila
pendapat mazhabnya berbeda dengan mazhab lainnya, maka di antara mereka tidak
segan-segan untuk membuat Hadits-hadits palsu dengan maksud selain untuk
memperkuat argumen mazhabnya, juga untuk menuduh lawan mazhabnya sebagai
golongan yang sehat.
Golongan/mazhab ilmu kalam,
khususnya kaum Mu’tazilah, sangat memusuhi Ulama Hadits. Mereka (dari kaum
Mu’tazilah) ini, sikapnya ingin memaksakan pendapatnya membuat Hadits-hadits
palsu. Pertentangan pendapat dari kalangan ulama llmu Kalam dan Ulama Hadits
ini sesungguhnya telah mulai lahir sejak abad II hijry. Tetapi karena pada masa
itu penguasa belum memberi angin kepada kaum Mu’tazilah, maka pertentangan
pendapat itu masih berada padati ketegangan-ketegangan anta golongan. Dan
ketika pemerintah, pada awal abad III hijry, dipegang oleh Khatifah Ma’mun yang
pendapatnya sama dengan kaum Mu’tazilah, khususnya tentang kemakhlukan
AlQur’an, maka Ulama Hadits bertambah berat fitnah yang harus dihadapinya.
b.
Sikap Penguasa terhadap Ulama Hadits
Khalifah Al-Makmun (wafat 218 H)
merupakan khalifah yang sangat memperhatikan terhadap ilmu pengetahuan. Beliau
tekun mempelajari Al-Qur’an, As-Sunnah dan Filsafat. Beliau memiliki kecerdasan
dan kecakapan dalam usaha memahami dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
Diuridanglati para Ulama dari berbagai golongan untuk bermunadzarah tentang
masalah-masalah agama. Penerjemahkan buku-buku filsafat ke dalam bahasa Arab,
sangat mendapat perhatian besar. Singkatnya, dalam masa pemerintahan Al-Makmun,
Ilmu pengetahuan berkembang pesat.
Tetapi di samping itu, dalam
menghadapi pertentangan antara golongan Mu’tazilah dengan ahli Hadits, khususnya
tentang apakah AlQur’an itu qadim atau hadits, Khalifah Al-Makmun sefaham
dengan kaum Mu’tazilah yang menyatakan bahwa Al-Qur’an itu hadits, karenanya
Al-Qur’an itu makhluk. Pendapat khalifah yang menyatakan bahwa Al-Qur’an itu
makhluk, telah diumumkan secara meluas pada tahtin 212 hijry. Dan karena Ulama
Hadits tetap terhadap pendiriannya yang menyatakan bahwa Al-Qur’an itu qadim,
maka khalifah, demi prestasinya, lalu berupaya untuk menyiasati para ulama
Hadits. Di antara Ulama Hadits yang keras pendirian adalah lmam Ahmad bin
Hambal. Karenanya, Imam Ahmad harus mengalami nasib tragis. Beliau terpaksa
dipenjarakan, karena tidak bersedia surut dari pendapatnya. Keadaan yang sangat
tidak menguntungkan bagi Ulama Hadits ini, tetap berlanjut pada masa khalifah
Al-Mu’tashirn (wafat 227 H) dan AlWatsiq (wafat tahun 232 H). Dan Imam Ahmad,
pada masa-masa pemerintahan ini, bukan sekedar dipenjarakan saja tetapi juga
disiksa dan dirantai. Al-Watsiq pada akhir masa hidupnya, berubah pendirian dan
mulai cenderung kepada pendapat Ulama Hadits.
Pada waktu khalifah
Al-Mutawakkil mulai memerintah (232 H), Ulama Hadits mulai mendapat angin segar
yang menyenangkan. Sebab, khalifah ini sangat cenderung kepada As-Sunnah. Ulama
Hadits sering dihadirkan di istana untuk menyampaikan dan menerangkan
Hadits-hadits Nabi. Karena demikian besarnya perhatiannya kepada Hadits Nabi,
maka di antara ulama Hadits ada yang mengatakan bahwa AlMutawakkil adalah
khalifah yang menghidupkan sunnah dan mematikan bid’ah.
Kaum zindik yang pada dasarnya
sangat memusuhi Islam, dalam masa pertentangan antar mazhab fiqh dan mazhab
ilmu kalam yang sedang menajam, telah mendapat kesempatan yang baik sekali
untuk meruntuhkan Islam. Mereka sengaja membuat Hadits-hadits palsu untuk lebih
mengeruhkan suasana dan menyesatkan umat. Sehingga karenanya, telah menambah
sibuk ulama Hadits untuk menyelamatkan Hadits-hadits Nabi yang benar-benar
berasal dari Nabi.
Di samping itu, kaum muslimin
yang gemar berceritra (tukang-tukang kisah) juga belum mau menghentikan
kegemarannya untuk membuat Hadits-hadits palsu guna memperkuat dan memperindah
daya pikat kisah-kisahnya. Dalam hal ini Ulama Hadits juga harus menghadapinya,
demi terpeliharanya Hadits-hadits Nabi dari usaha percampur adukan dengan
Hadits-hadits palsu yang telah dibuat oleh ahli-ahli kisah tersebut.
2. Kegiatan Ulama Hadits dalam melestarikan
Hadits-hadits.
Dalam menghadapi keadaan seperti
tersebut di atas, maka kegiatan Ulama Hadits dalam usaha melestarikan
Hadits-hadits Nabi secara garis besar ada lima macam kegiatan yang penting.
Yakni:
a. Mengadakan perlawatan ke
daerah-daerah yang jauh
Kegiatan ini ditempuh,
karena Hadits-hadits Nabi yang telah dibukukan oleh Ulama Hadits pada periode
keempat (abad II H) baru terbatas pada Hadits- hadits Nabi yang ada di
kota-kota tertentu saja. Pada hal dengan telah menyebarnya para perawi hadits
ke tempat tempat yang jauh, karena daulah Islamiyyah telah makin meluas
daerahnya, maka masih sangat banyak Hadits-hadits Nabi yang belum dibukukan
oleh karenanya, jalan yang harus ditempuh untuk menghimpun Hadits-hadits yang
berada pada perawi yang terbesar itu, adalah dengan cara melawat untuk
mengunjungi para perawi Hadits. Usaha perlawatan untuk mencari Hadits Nabi ini,
telah dipelopori oleh Imam Bukhari. Beliau selama 16 tahun telali melawat ke
kota Mekkah, Madinah, Bagdad, Basrhah, Kuffah, Mesir, Damsyik, Naisabur, dan
lain-lain. Kemudian diikuti oleh Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Turmudzi,
Imam Nasa’iy dan lain-lain.
b. Sejak permulaan abad III H, Ulama Hadits telah
mengadakan klasifikasi antara Hadits-hadits yang marfu’ (yang disadarkari kepada
Nabi), yang mauquf (yang disandarkan kepada
sahabat) dan yang maqthu’ (yang
disandarkan pada tabi’in). Kitab-kitab musnad telah sangat berjasa dalam hal
ini, sebab telah menghimpun Hadits-hadits Nabi berdasarkan nama Sahabat yang
meriwatkannya, sehingga dengan demikian Hadits-hadits Nabi terpelihara dari
pencampur adukan dengan fatwa-fatwa Sahabat dan Tabi,in. Adapun klasifikasi
Hadits kepada kualitas Shahih atau Dha’if, pada permulaan abad ini, belum
dilakukan.
- c. Pada pertengahan abad III H, mulailah Ulama Hadits mengadakan seleksi kualitas Hadits kepada shahih dan Dahif. Ulama yang mempelopori usaha ini adalah Ishaq Ibnu Rahawaih, kemudian diikuti oleh Bukhari, Muslim dan dilanjutkan oleh Abu Daud, Turmudzi, Nasa’iy, Ibnu Majah dan lain-lain. Sebelum zaman Imam Turmudzi, kualitas Hadits hanya dikenal ada dua macam saja, yakni: Shahih dan Dha’if. Dan sejak zaman Imam Turmudzi, barulah dikenal kualitas Hadits itu kepada tiga macam, yakni: Shahih, Hasan dan Dha’if. Demikian pendapat lbnu Taimiyah.
- d. Menghimpun segala kritik yang telah dilontarkan oleh ahli ilmu kalam dan lain-lain, baik kritik yang ditujukan kepada pribadi-pribadi perawi Hadits maupun yang ditujukan kepada matan-matan Hadits. Segala kritik itu kemudian dibantah satu per satu dengan argumentasi ilmiah, sehingga dengan demikian terpeliharalah para perawidan matan Hadits dari tuduhan- tuduhan yang tidak benar. Di antara Ulama Hadits yang telah menyusun kitab yang berisi pembahasan demikian ini, adalah Ibnu Qataibah. Judul kitabnya; Ta’wilu Mukhtalifil Hadits fir Raddi ‘ala ‘ada’ilil Hadits.
3.
Bentuk
Penyusunan Kitab Hadits pada periode Kelima
Sistem pendewanan Hadits pada
periode ini dapat diklasifikasi pada tiga bentuk.
Yakni bentuk penyusunan :
a. Kitab Shahih
Yaitu kitab Hadits yang disusun
oleh penyusunnya dengan cara menghimpun Hadits-hadits yang berkualitas Shahih,
sedang Hadits-hadits yang berkualitas tidak Shahih, tidak dimasukkan. Bentuk
penyusunan kitab Shahih, termasuk bentuk mushanaf. Materi Hadits yang dihimpun,
selain masalah hukum juga masalah aqidah, akhlaq, sejarah clan tafsir.
Contoh:
- Al-Jami’us Shahih, susunan Imam Bukhari. Kitab ini lebih dikenal dengan nama Shahih Bukhari.
- Al-Jami’us Shahih, susunan Imam Muslim. Kemudian lebih dikenal dengan nama Shahih Muslim.
b. Kitab Sunan
Yakni kitab Hadits yang oleh
penyusunnya, selain dimasukkan dalam kategori Hadits-hadits yang berkualitas
Shahih, juga dimasukkan yang berkualitas Dha’if dengan syarat tidak berkualitas
mungkar clan tidak terlalu lemah, Maka untuk Hadits yang berkualitas Dha’if,
biasanya oleh 4 penyusunnya diterangkan kedha’ifannya.
Bentuk penyusunan Kitab Sunan,
termasuk bentuk mushannaf. Materi Hadits yang dihimpun, hanya terbatas pada
masalah fiqh (hukum) dan semacamnya.
Gontoh:
- As-Sunan, susunan Imam Abu Daud.
- As-Sunan, susunan Imam At-Turmudzi.
- As-Sunan, susunan Imam An-Nasa’iy.
- As-Sunan, susunan Imam lbnu Majah.
- As-Sunan, susunan Imam Ad-Darimy.
c. Kitab Musnad
Yakni kitab Hadits yang oleh
penyusunnya dihimpun seluruh Hadits yang diterimanya, dengan bentuk susunan
berdasar nama perawi pertama. Urutan nama perawi pertama, ada yang berdasarkan
menurut tertib kabilah, misalnya dengan mendahulukan Bani Hasyim, ada yang berdasar
nama Sahabat menurut urutan waktu dalam memeluk agama Islam, ada yang dalam
bentuk urutan lain. Hadits-hadits yang dimuat dalam kitab Musnad, tidak
dijelaskan kualitasnya.
Contoh:
- Musnad, susunan Imam Ahmad bin Hambal:
- Musnad, susunan Imam Abul Qasim Al-Baghawy.
- Musnad, susunan Imam Utsman bin Abi Syaibah.
4.
Kitab-Kitab Standar
Karena demikian banyaknya
kitab-kitab Hadits yang disusun oleh Ulama sejak permulaan pendewaan Hadits
sampai pada abad III ini, dan pula dengan mempertimbangkan kualitas, serta banyaknya
Ulama Hadits yang memberikan perhatian khusus kepada kitab-kitab Hadits
tertentu, maka Ulama Muta’akhirin lalu menetapkan beberapa kitab Hadits sebagai
kitab-kitab pokok atau kitab standar.
a.
Kitab
Standar yang Lima (Al-Kutubul Khamsah)
Ulama sepakat, ada lima buah
kitab Hadits yang dinyatakan sebagai kitab standar (kitab pokok) yang biasa
disebut dengan Al-Kutubul Khamsah atau Al-Ushulu I Khamsah.
Yakni :
- Kitab Shahih Bukhari.
- Kitab Shahih Muslim.
- Kitab Sunan Abi Daud.
- Kitab Sunan Turmudzi.
- Kitab Sunan Nasa’iy.
b.
Kitab Standar yang Enam (Al-Kutubus
Sittah)
Ada sebuah kitab Hadits lagi
yang oleh Ulama dimasukkan juga sebagai kitab standar dalam urutan yang keenam.
Dengan demikian, seluruh kitab standar itu ada enam buah. Yakni, lima kitab
standar sebagaimana tersebut dalam Al-Kutubul Khamsah kemudian ditambah satu
kitab lagi sehingga menjadi Al-Kutubus Sittah. Ulama tidak sependapat tentang
nama kitab standar yang menempati urutan yang keenam ini.
- Menurut pendapat Ibnu ThahirAl-Maqdisy adalah: Sunan lbnu Majah susunan Imam Ibnu Majah.
- Menurut pendapat Ibnu Atsir dan lain-lain, adalah: Al-Muwattha’, susunan Imam Malik.
- Menurut pendapat Ibnu Hajar Al-Asqallany adalah: Sunan Ad Darimy, susunan Imam Ad-Darimy.
- Menurut Ahmad Muhammad Syakir, adalah: Al-Muntaqa, susunan Ibnu Jarud.
c.
Kitab Standar yang Tujuh (Al-Kutubus Sab’ah)
Di antara Ulama ada yang
menambah lagi sebuah nama kitab Hadits sebagai kitab pokok (standar). Sehingga
dengan demikian, kitab standar tersebut jumlahnya menjadi tujuh buah. Dan oleh
karenanya, dinyatakan dengan nama Al-Kutubus Sab’ah (Kitab Pokok/Standar yang
tujuh). Kitab Hadits yang ditetapkan sebagai nomor urut yang ketujuh dalam
kitab standar tersebut, menurut sebagian Ulama adalah: Musnad Ahmad, susunan
Ahmad bin Hambal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar