Kamis, 21 Maret 2013

Masa Perkembangan Hadis (Periode Kelima)


A.   Abad III Hijriah (Periode Kelima)
Periode ini disebut: Masa penyehatan Hadist.
Periode kelima ini dimulai sejak masa akhir pernerintahan dinasti Abbasiyah angkatan pertama (Khalifah Al-Ma’mun) sampai awal pemerintahan dinasti Abbasiyah angkatan kedua (Khalifah Al-Muqtadir).
   1.  Keadaan Ummat Islam pada Periode lni
a.       Pertikaian faham dikalangan Ulama
Sejak abad kedua hrjry, telah lahir para mujtahid di bidang fiqh dan dibidang ilmu kalam. Kehidupan ilmu pengetahuan Islam pada abad ini sangat pesat. Antara para mujtahid Islam, sesungguhnya tidaklah ada masalah. Mereka saling menghormati dan menghargai pendapat-pendapat yang timbul. Tetapi lain halnya di kalangan para murid dan pengikutnya. Mereka hanya baranggapan bahwa pendapat guru dan golongannya saja yang benar. Sikap yang demikian ini mengakibatkan timbulnya bentrokan-bentrokan antara mereka, termasuk para ulamanya.
Pada abad ketiga, bentrokan pendapat itu telah makin meruncing, baik antar golongan mazhab fiqh, maupun antar mazhab ilmu kalam. Ulama Hadits pada abad ketiga ini, menghadapi kedua golongan tersebut. Terhadap pendukung madzhab fiqh yang fanatik, Ulama Hadits harus menghadapinya, karena tidak sedikit di antara mereka berbeda pendapat dalam memahami hukum Islam. Para pendukung madzhab fiqh yang fanatik buta, bila pendapat mazhabnya berbeda dengan mazhab lainnya, maka di antara mereka tidak segan-segan untuk membuat Hadits-hadits palsu dengan maksud selain untuk memperkuat argumen mazhabnya, juga untuk menuduh lawan mazhabnya sebagai golongan yang sehat.
Golongan/mazhab ilmu kalam, khususnya kaum Mu’tazilah, sangat memusuhi Ulama Hadits. Mereka (dari kaum Mu’tazilah) ini, sikapnya ingin memaksakan pendapatnya membuat Hadits-hadits palsu. Pertentangan pendapat dari kalangan ulama llmu Kalam dan Ulama Hadits ini sesungguhnya telah mulai lahir sejak abad II hijry. Tetapi karena pada masa itu penguasa belum memberi angin kepada kaum Mu’tazilah, maka pertentangan pendapat itu masih berada padati ketegangan-ketegangan anta golongan. Dan ketika pemerintah, pada awal abad III hijry, dipegang oleh Khatifah Ma’mun yang pendapatnya sama dengan kaum Mu’tazilah, khususnya tentang kemakhlukan AlQur’an, maka Ulama Hadits bertambah berat fitnah yang harus dihadapinya.
b.        Sikap Penguasa terhadap Ulama Hadits
Khalifah Al-Makmun (wafat 218 H) merupakan khalifah yang sangat memperhatikan terhadap ilmu pengetahuan. Beliau tekun mempelajari Al-Qur’an, As-Sunnah dan Filsafat. Beliau memiliki kecerdasan dan kecakapan dalam usaha memahami dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Diuridanglati para Ulama dari berbagai golongan untuk bermunadzarah tentang masalah-masalah agama. Penerjemahkan buku-buku filsafat ke dalam bahasa Arab, sangat mendapat perhatian besar. Singkatnya, dalam masa pemerintahan Al-Makmun, Ilmu pengetahuan berkembang pesat.
Tetapi di samping itu, dalam menghadapi pertentangan antara golongan Mu’tazilah dengan ahli Hadits, khususnya tentang apakah AlQur’an itu qadim atau hadits, Khalifah Al-Makmun sefaham dengan kaum Mu’tazilah yang menyatakan bahwa Al-Qur’an itu hadits, karenanya Al-Qur’an itu makhluk. Pendapat khalifah yang menyatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk, telah diumumkan secara meluas pada tahtin 212 hijry. Dan karena Ulama Hadits tetap terhadap pendiriannya yang menyatakan bahwa Al-Qur’an itu qadim, maka khalifah, demi prestasinya, lalu berupaya untuk menyiasati para ulama Hadits. Di antara Ulama Hadits yang keras pendirian adalah lmam Ahmad bin Hambal. Karenanya, Imam Ahmad harus mengalami nasib tragis. Beliau terpaksa dipenjarakan, karena tidak bersedia surut dari pendapatnya. Keadaan yang sangat tidak menguntungkan bagi Ulama Hadits ini, tetap berlanjut pada masa khalifah Al-Mu’tashirn (wafat 227 H) dan AlWatsiq (wafat tahun 232 H). Dan Imam Ahmad, pada masa-masa pemerintahan ini, bukan sekedar dipenjarakan saja tetapi juga disiksa dan dirantai. Al-Watsiq pada akhir masa hidupnya, berubah pendirian dan mulai cenderung kepada pendapat Ulama Hadits.
Pada waktu khalifah Al-Mutawakkil mulai memerintah (232 H), Ulama Hadits mulai mendapat angin segar yang menyenangkan. Sebab, khalifah ini sangat cenderung kepada As-Sunnah. Ulama Hadits sering dihadirkan di istana untuk menyampaikan dan menerangkan Hadits-hadits Nabi. Karena demikian besarnya perhatiannya kepada Hadits Nabi, maka di antara ulama Hadits ada yang mengatakan bahwa AlMutawakkil adalah khalifah yang menghidupkan sunnah dan mematikan bid’ah.
Kaum zindik yang pada dasarnya sangat memusuhi Islam, dalam masa pertentangan antar mazhab fiqh dan mazhab ilmu kalam yang sedang menajam, telah mendapat kesempatan yang baik sekali untuk meruntuhkan Islam. Mereka sengaja membuat Hadits-hadits palsu untuk lebih mengeruhkan suasana dan menyesatkan umat. Sehingga karenanya, telah menambah sibuk ulama Hadits untuk menyelamatkan Hadits-hadits Nabi yang benar-benar berasal dari Nabi.
Di samping itu, kaum muslimin yang gemar berceritra (tukang-tukang kisah) juga belum mau menghentikan kegemarannya untuk membuat Hadits-hadits palsu guna memperkuat dan memperindah daya pikat kisah-kisahnya. Dalam hal ini Ulama Hadits juga harus menghadapinya, demi terpeliharanya Hadits-hadits Nabi dari usaha percampur adukan dengan Hadits-hadits palsu yang telah dibuat oleh ahli-ahli kisah tersebut.
 2.  Kegiatan Ulama Hadits dalam melestarikan Hadits-hadits.
Dalam menghadapi keadaan seperti tersebut di atas, maka kegiatan Ulama Hadits dalam usaha melestarikan Hadits-hadits Nabi secara garis besar ada lima macam kegiatan yang penting. Yakni:
a.        Mengadakan perlawatan ke daerah-daerah yang jauh
 Kegiatan ini ditempuh, karena Hadits-hadits Nabi yang telah dibukukan oleh Ulama Hadits pada periode keempat (abad II H) baru terbatas pada Hadits- hadits Nabi yang ada di kota-kota tertentu saja. Pada hal dengan telah menyebarnya para perawi hadits ke tempat tempat yang jauh, karena daulah Islamiyyah telah makin meluas daerahnya, maka masih sangat banyak Hadits-hadits Nabi yang belum dibukukan oleh karenanya, jalan yang harus ditempuh untuk menghimpun Hadits-hadits yang berada pada perawi yang terbesar itu, adalah dengan cara melawat untuk mengunjungi para perawi Hadits. Usaha perlawatan untuk mencari Hadits Nabi ini, telah dipelopori oleh Imam Bukhari. Beliau selama 16 tahun telali melawat ke kota Mekkah, Madinah, Bagdad, Basrhah, Kuffah, Mesir, Damsyik, Naisabur, dan lain-lain. Kemudian diikuti oleh Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Turmudzi, Imam Nasa’iy dan lain-lain.
b.      Sejak permulaan abad III H, Ulama Hadits telah mengadakan klasifikasi antara Hadits-hadits yang marfu’ (yang disadarkari kepada Nabi), yang mauquf (yang disandarkan kepada sahabat) dan yang maqthu’ (yang disandarkan pada tabi’in). Kitab-kitab musnad telah sangat berjasa dalam hal ini, sebab telah menghimpun Hadits-hadits Nabi berdasarkan nama Sahabat yang meriwatkannya, sehingga dengan demikian Hadits-hadits Nabi terpelihara dari pencampur adukan dengan fatwa-fatwa Sahabat dan Tabi,in. Adapun klasifikasi Hadits kepada kualitas Shahih atau Dha’if, pada permulaan abad ini, belum dilakukan.
  1.  c.           Pada pertengahan abad III H, mulailah Ulama Hadits mengadakan seleksi kualitas Hadits kepada shahih dan Dahif. Ulama yang mempelopori usaha ini adalah Ishaq Ibnu Rahawaih, kemudian diikuti oleh Bukhari, Muslim dan dilanjutkan oleh Abu Daud, Turmudzi, Nasa’iy, Ibnu Majah dan lain-lain. Sebelum zaman Imam Turmudzi, kualitas Hadits hanya dikenal ada dua macam saja, yakni: Shahih dan Dha’if. Dan sejak zaman Imam Turmudzi, barulah dikenal kualitas Hadits itu kepada tiga macam, yakni: Shahih, Hasan dan Dha’if. Demikian pendapat lbnu Taimiyah.
  2.  d.          Menghimpun segala kritik yang telah dilontarkan oleh ahli ilmu kalam dan lain-lain, baik kritik yang ditujukan kepada pribadi-pribadi perawi Hadits maupun yang ditujukan kepada matan-matan Hadits. Segala kritik itu kemudian dibantah satu per satu dengan argumentasi ilmiah, sehingga dengan demikian terpeliharalah para perawidan matan Hadits dari tuduhan- tuduhan yang tidak benar. Di antara Ulama Hadits yang telah menyusun kitab yang berisi pembahasan demikian ini, adalah Ibnu Qataibah. Judul kitabnya; Ta’wilu Mukhtalifil Hadits fir Raddi ‘ala ‘ada’ilil Hadits.
3.       Bentuk Penyusunan Kitab Hadits pada periode Kelima
Sistem pendewanan Hadits pada periode ini dapat diklasifikasi pada tiga bentuk.
Yakni bentuk penyusunan :
a.       Kitab Shahih
Yaitu kitab Hadits yang disusun oleh penyusunnya dengan cara menghimpun Hadits-hadits yang berkualitas Shahih, sedang Hadits-hadits yang berkualitas tidak Shahih, tidak dimasukkan. Bentuk penyusunan kitab Shahih, termasuk bentuk mushanaf. Materi Hadits yang dihimpun, selain masalah hukum juga masalah aqidah, akhlaq, sejarah clan tafsir.
Contoh:
  • Al-Jami’us Shahih, susunan Imam Bukhari. Kitab ini lebih dikenal dengan nama Shahih Bukhari.
  • Al-Jami’us Shahih, susunan Imam Muslim. Kemudian lebih dikenal dengan nama Shahih Muslim.
b.      Kitab Sunan
Yakni kitab Hadits yang oleh penyusunnya, selain dimasukkan dalam kategori Hadits-hadits yang berkualitas Shahih, juga dimasukkan yang berkualitas Dha’if dengan syarat tidak berkualitas mungkar clan tidak terlalu lemah, Maka untuk Hadits yang berkualitas Dha’if, biasanya oleh 4 penyusunnya diterangkan kedha’ifannya.
Bentuk penyusunan Kitab Sunan, termasuk bentuk mushannaf. Materi Hadits yang dihimpun, hanya terbatas pada masalah fiqh (hukum) dan semacamnya.
Gontoh:
  • As-Sunan, susunan Imam Abu Daud.
  • As-Sunan, susunan Imam At-Turmudzi.
  • As-Sunan, susunan Imam An-Nasa’iy.
  • As-Sunan, susunan Imam lbnu Majah.
  • As-Sunan, susunan Imam Ad-Darimy.
c.        Kitab Musnad
Yakni kitab Hadits yang oleh penyusunnya dihimpun seluruh Hadits yang diterimanya, dengan bentuk susunan berdasar nama perawi pertama. Urutan nama perawi pertama, ada yang berdasarkan menurut tertib kabilah, misalnya dengan mendahulukan Bani Hasyim, ada yang berdasar nama Sahabat menurut urutan waktu dalam memeluk agama Islam, ada yang dalam bentuk urutan lain. Hadits-hadits yang dimuat dalam kitab Musnad, tidak dijelaskan kualitasnya.
Contoh:
  • Musnad, susunan Imam Ahmad bin Hambal:
  • Musnad, susunan Imam Abul Qasim Al-Baghawy.
  • Musnad, susunan Imam Utsman bin Abi Syaibah.
4.        Kitab-Kitab Standar
Karena demikian banyaknya kitab-kitab Hadits yang disusun oleh Ulama sejak permulaan pendewaan Hadits sampai pada abad III ini, dan pula dengan mempertimbangkan kualitas, serta banyaknya Ulama Hadits yang memberikan perhatian khusus kepada kitab-kitab Hadits tertentu, maka Ulama Muta’akhirin lalu menetapkan beberapa kitab Hadits sebagai kitab-kitab pokok atau kitab standar.
a.       Kitab Standar yang Lima (Al-Kutubul Khamsah)
Ulama sepakat, ada lima buah kitab Hadits yang dinyatakan sebagai kitab standar (kitab pokok) yang biasa disebut dengan Al-Kutubul Khamsah atau Al-Ushulu I Khamsah. Yakni :
  • Kitab Shahih Bukhari.
  • Kitab Shahih Muslim.
  • Kitab Sunan Abi Daud.
  • Kitab Sunan Turmudzi.
  • Kitab Sunan Nasa’iy.
b.       Kitab Standar yang Enam (Al-Kutubus Sittah)
Ada sebuah kitab Hadits lagi yang oleh Ulama dimasukkan juga sebagai kitab standar dalam urutan yang keenam. Dengan demikian, seluruh kitab standar itu ada enam buah. Yakni, lima kitab standar sebagaimana tersebut dalam Al-Kutubul Khamsah kemudian ditambah satu kitab lagi sehingga menjadi Al-Kutubus Sittah. Ulama tidak sependapat tentang nama kitab standar yang menempati urutan yang keenam ini.
  • Menurut pendapat Ibnu ThahirAl-Maqdisy adalah: Sunan lbnu Majah susunan Imam Ibnu Majah.
  • Menurut pendapat Ibnu Atsir dan lain-lain, adalah: Al-Muwattha’,  susunan Imam Malik.
  • Menurut pendapat Ibnu Hajar Al-Asqallany adalah: Sunan Ad Darimy, susunan Imam Ad-Darimy.
  • Menurut Ahmad Muhammad Syakir, adalah: Al-Muntaqa, susunan Ibnu Jarud.
c.       Kitab Standar yang Tujuh (Al-Kutubus Sab’ah)
Di antara Ulama ada yang menambah lagi sebuah nama kitab Hadits sebagai kitab pokok (standar). Sehingga dengan demikian, kitab standar tersebut jumlahnya menjadi tujuh buah. Dan oleh karenanya, dinyatakan dengan nama Al-Kutubus Sab’ah (Kitab Pokok/Standar yang tujuh). Kitab Hadits yang ditetapkan sebagai nomor urut yang ketujuh dalam kitab standar tersebut, menurut sebagian Ulama adalah: Musnad Ahmad, susunan Ahmad bin Hambal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar