SAHABAT NABI YANG BANYAK MERIWAYATKAN HADIS
ANTARA LAIN:
1.
BIOGRAFI ABU HURAIRAH RADHIYALLAHU 'ANHU
Abdurrahman bin Shakhr Al-Azdi (bahasa Arab: عبدالرحمن بن صخر الأذدي)
(lahir 598 - wafat 678), yang lebih dikenal dengan panggilan Abu Hurairah
(bahasa Arab: أبو هريرة), adalah seorang Sahabat Nabi yang terkenal dan merupakan
periwayat hadits yang paling banyak disebutkan dalam isnad-nya
oleh kaum Islam Sunni. Menurut pendapat mayoritas, nama
beliau adalah 'Abdurrahman bin Shakhr ad Dausi. Pada masa jahiliyyah, beliau
bernama Abdu Syams, dan ada pula yang berpendapat lain. Kunyah-nya Abu Hurairah
(inilah yang masyhur) atau Abu Hir, karena memiliki seekor kucing kecil yang
selalu diajaknya bermain-main pada siang hari atau saat menggembalakan
kambing-kambing milik keluarga dan kerabatnya, dan beliau simpan di atas pohon
pada malam harinya. Tersebut dalam Shahihul Bukhari, bahwa Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam pernah memanggilnya, “Wahai, Abu Hir”.
Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam mendo’akan ibu Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu,
agar Allah memberinya hidayah untuk masuk Islam, dan do’a tersebut dikabulkan.
Dan Abu Hurairah memeluk Islam pada tahun 7 H, tahun terjadinya perang Khibar,
Rasulullah sendirilah yang memberi julukan “Abu Hurairah”, ketika beliau sedang
melihatnya membawa seekor kucing kecil. Julukan dari Rasulullah Shallallahu
alaihi wassalam itu semata karena kecintaan beliau kepadanya.
Allah
Subhanahu wa ta’ala mengabulkan doa Rasulullah agar Abu Hurairah dianugrahi
hapalan yang kuat. Ia memang paling banyak hapalannya diantara para sahabat
lainnya.
Marwan bin
al-Hakam pernah mengundang Abu Hurairah untuk menulis riwayat darinya, lalu ia
bertanya tentang apa yang ditulisnya, lalu Abu Hurairah menjawab :” Tidak lebih
dan tidak kurang dan susunannya urut”.
Ahli hadits telah sepakat, beliau adalah sahabat yang
paling banyak meriwayatkan hadits. Abu Muhammad Ibnu Hazm mengatakan bahwa,
dalam Musnad Baqiy bin Makhlad terdapat lebih dari 5300 hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu.
Tapi yang
lebih jelasnya beliau meriwayatkan hadist sebanyak 5.374 hadist.
Selain meriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau Radhiyallahu 'anhu juga meriwayatkan dari Abu Bakar, Umar, al Fadhl bin al Abbas, Ubay bin Ka’ab, Usamah bin Zaid, ‘Aisyah, Bushrah al Ghifari, dan Ka’ab al Ahbar Radhiyallahu 'anhum. Ada sekitar 800 ahli ilmu dari kalangan sahabat maupun tabi’in yang meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dan beliau Radhiyallahu 'anhu adalah orang yang paling hafal dalam meriwayatkan beribu-ribu hadits. Namun, bukan berarti beliau yang paling utama di antara para sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Selain meriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau Radhiyallahu 'anhu juga meriwayatkan dari Abu Bakar, Umar, al Fadhl bin al Abbas, Ubay bin Ka’ab, Usamah bin Zaid, ‘Aisyah, Bushrah al Ghifari, dan Ka’ab al Ahbar Radhiyallahu 'anhum. Ada sekitar 800 ahli ilmu dari kalangan sahabat maupun tabi’in yang meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dan beliau Radhiyallahu 'anhu adalah orang yang paling hafal dalam meriwayatkan beribu-ribu hadits. Namun, bukan berarti beliau yang paling utama di antara para sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Pada masa Umar bin Khaththab menjadi
Khalifah, Abu Hurairah menjadi pegawai di Bahrain, karena banyak meriwayatkan
hadist Umar bin Khaththab pernah menetangnya dan ketika Abu Hurairah
meriwayatkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wassalam :” Barangsiapa
berdusta mengatasnamakanku dengan sengaja, hendaklah ia menyediakan pantatnya
untuk dijilat api neraka”. Kalau begitu kata Umar, engkau boleh pergi dan menceritakan
hadist.
Syu’bah bin al-Hajjaj memperhatikan bahwa Abu Hurairah meriwayatkan dari Ka’ab al-Akhbar dan meriwayatkan pula dari Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam, tetapi ia tidak membedakan antara dua riwayatnya tersebut. Syu’bah pun menuduhnya melakukan tadlis, tetapi Bisyr bin Sa’id menolak ucapan Syu’bah tentang Abu Hurairah. Dan dengan tegas berkata: Bertakwalah kepada allah dan berhati hati terhadap hadist. Demi Allah, aku telah melihat kita sering duduk di majelis Abu Hurairah. Ia menceritakan hadist Rasulullah dan menceritakan pula kepada kita riwayat dari Ka’ab al-Akhbar. Kemudian dia berdiri, lalu aku mendengan dari sebagian orang yang ada bersama kita mempertukarkan hadist Rasulullah dengan riwayat dari Ka’ab. Dan yang dari Ka’ab menjadi dari Rasulullah.”. Jadi tadlis itu tidak bersumber dari Abu Hurairah sendiri, melainkan dari orang yang meriwayatkan darinya.
Imam asy Syafi’i berkata,"Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu adalah orang yang paling hafal dalam meriwayatkan hadits pada zamannya (masa sahabat).”
Syu’bah bin al-Hajjaj memperhatikan bahwa Abu Hurairah meriwayatkan dari Ka’ab al-Akhbar dan meriwayatkan pula dari Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam, tetapi ia tidak membedakan antara dua riwayatnya tersebut. Syu’bah pun menuduhnya melakukan tadlis, tetapi Bisyr bin Sa’id menolak ucapan Syu’bah tentang Abu Hurairah. Dan dengan tegas berkata: Bertakwalah kepada allah dan berhati hati terhadap hadist. Demi Allah, aku telah melihat kita sering duduk di majelis Abu Hurairah. Ia menceritakan hadist Rasulullah dan menceritakan pula kepada kita riwayat dari Ka’ab al-Akhbar. Kemudian dia berdiri, lalu aku mendengan dari sebagian orang yang ada bersama kita mempertukarkan hadist Rasulullah dengan riwayat dari Ka’ab. Dan yang dari Ka’ab menjadi dari Rasulullah.”. Jadi tadlis itu tidak bersumber dari Abu Hurairah sendiri, melainkan dari orang yang meriwayatkan darinya.
Imam asy Syafi’i berkata,"Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu adalah orang yang paling hafal dalam meriwayatkan hadits pada zamannya (masa sahabat).”
Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu masuk Islam antara setelah perjanjian Hudaibiyyah dan sebelum perang Khaibar. Beliau Radhiyallahu 'anhu datang ke Madinah sebagai muhajir dan tinggal di Shuffah.
Amr bin Ali al Fallas mengatakan, Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu datang ke Madinah pada tahun terjadinya perang Khaibar pada bulan Muharram tahun ke-7 H.
Humaid al Himyari berkata,"Aku menemani seorang sahabat yang pernah menemani Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam selama empat tahun sebagaimana halnya Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu.”
2.
BIOGRAFI JABIR IBNU ABDULLAH
Jabir bin Abdullah meriwayatkan
1.540 hadist, Ayahnya bernama Abdullah bin Amr
bin Hamran Al-Anshari as-Salami. Ia bersama ayahnya dan seorang pamannya
mengikuti Bai’at al-‘Aqabah kedua di antara 70 sahabat anshar yang berikrar
akan membantu menguatkan dan menyiarkan agama Islam, Jabir juga mendapat
kesempatan ikut dalam peperangan yang dilakukan pleh Nabi, kecuali perang Badar
dan Perang Uhud, karena dilarang oleh ayahku. Setelah Ayahku terbunuh, aku
selalu ikut berperang bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam.
Jabir
bin Abdullah pernah melawat ke Mesir dan Syam dan banyak orang menimba ilmu
darinya dimanapun mereka bertemu dengannya. Di Masjid Nabi Madinah ia mempunyai
kelompok belajar , disini orang orang berkumpul untuk mengambil manfaat dari
ilmu dan ketakwaan.
Sanad
terkenal dan paling Shahih darinya adalah yang diriwayatkan oleh penduduk
Makkah melalui jalur Sufyan bin Uyainah, dari Amr bin Dinar, dari Jabir bin Abdullah.
Jabir
bin Abdullah meriwayatkan 1.540 hadist, Ayahnya bernama Abdullah bin Amr bin
Hamran Al-Anshari as-Salami. Ia bersama ayahnya dan seorang pamannya mengikuti
Bai’at al-‘Aqabah kedua di antara 70 shahabat anshar yang berikrar akan
membantu menguatkan dan menyiarkan agama Islam, Jabir juga mendapat kesempatan
ikut dalam peperangan yang dilakukan oleh Nabi shalallahu alaihi wasallam,
kecuali perang Badar dan Perang Uhud, karena dilarang oleh ayahnya. Setelah
Ayahnya terbunuh, beliau selalu ikut berperang bersama Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam.
Beliau
wafat di Madinah pada tahun 74 H. Abbas bin Utsman penguasa madinah pada waktu
itu ikut menshalatkannya.
Sanad
terkenal dan paling Shahih darinya adalah yang diriwayatkan oleh penduduk
Makkah melalui jalur Sufyan bin Uyainah, dari Amr bin Dinar, dari Jabir bin
Abdullah.
Radhiyallahu
‘anhuma.
3.
BIOGRAFI ABDULLAH IBNU MAS’UD
Nama
lengkapnya adalah Abdullah bin Mas’ud bin Ghafil al-Hudzali. Nama julukannya “
Abu Abdirahman”. Ia sahabat ke enam yang paling dahulu masuk islam. Ia hijrah
ke Habasyah dua kali, dan mengikut semua peperangan bersama Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wassalam. Dalam perang Badar, Ia berhasil membunuh Abu
Jahal.
Rasulullah
Shallallahu alaihi wassalam bersabda” Ambilah al-Quran dari empat orang:
Abdullah, Salim (sahaya Abu Hudzaifah), Muadz bin Jabal dan Ubay bin Ka’ab”.
Menurut para ahli hadits, kalau disebutkan “Abdullah” saja, yang dimaksudkan
adalah Abdullah bin Mas’ud ini.
Ketikah
menjadi Khalifah Umar mengangkatnya menjadi Hakim dan Pengurus kas negara di
kufah. Ia simbol bagi ketakwaan, kehati-hatian, dan kesucian diri.
Sanad
paling shahih yang bersumber dari padanya ialah yang diriwayatkan oleh Suyan
ats-Tsauri, dari Mansyur bin al-Mu’tamir, dari Ibrahi, dari alqamah. Sedangkan
yang paling dlaif adalah yang diriwayatkan oleh Syuraik dari Abi Fazarah dari
Abu Said.
Ia
meriwayatkan hadits dari Umar dan Sa’ad bin Mu’adz. Yang meriwayatkan hadits
darinya adalah Al-Abadillah (“Empat orang yang bernama Abdullah”), Anas bin
Malik, Jabir bin Abdullah, Abu Musa al-Asy’ari, Alqamah, Masruq, Syuraih
al-Qadli, dan beberapa yang lain. Jumlah hadits yang ia riwayatkan mencapai
848 hadits.
Beliau
datang ke Medinah dan sakit disana kemudian wafat pada tahun 32 H dan
dimakamkan di Baqi, Utsman bin ‘Affan ikut menshalatkannya.
4.
BIOGRAFI SITI AISYAH
Siti
Aisyah memiliki gelar ash-Shiddiqah, sering dipanggil dengan Ummu
Mukminin, dan nama keluarganya adalah Ummu Abdullah. Kadang-kadang ia juga
dijuluki Humaira’. Namun Rasulullah sering memanggilnya Binti ash-Shiddiq. Ayah
Aisyah bernama Abdullah, dijuluki dengan Abu Bakar. Ia terkenal dengan gelar
ash-Shiddiq. Ibunya bernama Ummu Ruman. Ia berasal dari suku Quraisy kabilah
Taimi di pihak ayahnya dan dari kabilah Kinanah di pihak ibu.
Sementara itu, garis keturunan Siti Aisyah dari pihak ayahnya adalah Aisyah binti Abi Bakar ash-Shiddiq bin Abi Quhafah Utsman bin Amir bin Umar bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Fahr bin Malik. Sedangkan dari pihak ibu adalah Aisyah binti Ummu Ruman binti Amir bin Uwaimir bin Abd Syams bin Itab bin Adzinah bin Sabi’ bin Wahban bin Harits bin Ghanam bin Malik bin Kinanah.
Sementara itu, garis keturunan Siti Aisyah dari pihak ayahnya adalah Aisyah binti Abi Bakar ash-Shiddiq bin Abi Quhafah Utsman bin Amir bin Umar bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Fahr bin Malik. Sedangkan dari pihak ibu adalah Aisyah binti Ummu Ruman binti Amir bin Uwaimir bin Abd Syams bin Itab bin Adzinah bin Sabi’ bin Wahban bin Harits bin Ghanam bin Malik bin Kinanah.
Siti
Aisyah lahir pada bulan Syawal tahun ke-9 sebelum hijrah, bertepatan dengan
bulan Juli tahun 614 Masehi, yaitu akhir tahun ke-5 kenabian. Kala itu, tidak
ada satu keluarga muslim pun yang menyamai keluarga Abu Bakar ash-Shiddiq dalam
hal jihad dan pengorbanannya demi penyebaran agama Islam. Rumah Abu Bakar saat
itu menjadi tempat yang penuh berkah, tempat makna tertinggi kemuliaan,
kebahagiaan, kehormatan, dan kesucian, dimana cahaya mentari Islam pertama
terpancar dengan terang.
Dari
perkembangan fisik, Siti Aisyah termasuk perempuan yang sangat cepat tumbuh dan
berkembang. Ketika menginjak usia sembilan atau sepuluh tahun, ia menjadi gemuk
dan penampilannya kelihatan bagus, padahal saat masih kecil, ia sangat kurus.
Dan ketika dewasa, tubuhnya semakin besar dan penuh berisi. Aisyah adalah
wanita berkulit putih dan berparas elok dan cantik. Oleh karena itu, ia dikenal
dengan julukan Humaira’ (yang pipinya kemerah-merahan). Ia juga perempuan yang
manis, tubuhnya langsing, matanya besar, rambutnya keriting, dan wajahnya
cerah. Tanda-tanda ketinggian derajat dan kebahagiaan telah tampak sejak Siti
Aisyah masih kecil pada perilaku dan grak-geriknya. Namun, seorang anak kecil
tetaplah anak kecil, dia tetap suka bermain-main. Walau masih kecil, Aisyah
tidak lupa tetap menjaga etika dan adab sopan santun ajaran Rasulullah di
setiap kesempatan.
Pernikahan
Rasulullah dengan Siti Aisyah merupakan perintah langsung dari Allah, setelah
wafatnya Siti Khadijah. Setelah dua tahun wafatnya Khadijah, turunlah wahyu
kepada Rasulullah untuk menikahi Aisyah, kemudian Rasulullah segera mendatangi
Abu Bakar dan istrinya, mendengar kabar itu, mereka sangat senang, terlebih
lagi ketika Rasulullah setuju menikahi putri mereka. Maka dengan segera
disuruhlah Aisyah menemui beliau.
Pernikahan
Rasulullah dengan Siti Aisyah terjadi di Mekkah sebelum hjirah pada bulan
Syawal tahun ke-10 kenabian. Ketika dinikahi Rasulullah, Siti Aisyah masih
sangat belia. Di antara istri-istri yang beliau nikahi, hanyalah Aisyah yang
masih dalam keadaan perawan. Aisyah menikah pada usia 6 tahun. Tujuan inti dari
pernikahan dini ini adalah untuk memperkuat hubungan dan mempererat ikatan
kekhalifahan dan kenabian. Pada waktu itu, cuaca panas yang biasa dialami
bangsa Arab di negerinya menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan fisik anak
perempuan menjadi pesat di satu sisi. Di sisi lain, pada sosok pribadi yang
menonjol, berbakat khusus, dan berpotensi luar biasa dalam mengembangkan
kemampuan otak dan pikiran, pada tubuh mereka terdapat persiapan sempurna untuk
tumbuh dan berkembang secara dini. Pada waktu itu, karena Siti Aisyah masih
gadis kecil, maka yang dilangsungkan baru akad nikah, sedangkan perkawinan akan
dilangsungkan dua tahun kemudian. Selama itu pula beliau belum berkumpul dengan
Aisyah. Bahkan beliau membiarkan Aisyah bermain-main dengan teman-temannya.
Kemudian, ketika Aisyah berusaha 9 tahun, Rasulullah menyempurnakan
pernikahannya dengan Aisyah. Dalam pernikahan itu, Rasulullah memberikan
maskawin 500 dirham. Setelah pernikahan itu, Aisyah mulai memasuki rumah tangga
Rasulullah. Pernikahan seorang tokoh perempuan dunia tersebut dilangsungkan
secara sederhana dan jauh dari hura-hura. Hal ini mengandung teladan yang baik
dan contoh yang bagus bagi seluruh muslimah. Di dalamnya terkandung hikmah dan
nasehat bagi mereka yang menganggap penikahan sebagai problem dewasa ini, yang
hanya menjadi simbol kemubaziran dan hura-hura untuk menuruti hawa nafsu dan
kehendak yang berlebihan.
Ketangguhan Aisyah sangat luar biasa, yaitu
ketika perang berlangsung, Aisyah dan wanita lainnya menyiapkan makanan dan
minuman bagi paja pejuang serta merawat
pejuang yang terluka dan mengangkut pejuang yang mati syahid. Bahkan dalam
perang Uhud beliau bersama sahabat wanita lain maju ke medan perang dan
memberikan air minum pada setiap pejuang yang cedera tanpa gentar. Mereka
(Aisyah dan wanita lainnya) tidak aktif di medan perang kecuali dalam keadaan
darurat dimana para pejuang pria kelelahan. Pengaruh Aisyah sangatlah besar
bagi Rasulullah. Hingga saat akhir hayatnya beliau meminta izin pada
istri-istrinya agar dirawat di rumah Aisyah dan semuanya menyetujuinya karena
mengerti keinginan Rasulullah. Aisyah pun pernah berkata:
“Sesungguhnya
diantara nikmat-nikmat Allah atas diriku bahwasanya Rasulullah SAW meninggal
dalam dekapanku”.
Setelah Rasulullah meninggal, beliau tetap
tegar dan menjadi guru bagi para sahabat. Namun pada masa khalifah Abu bakar
beliau belum menonjol. Tapi mulai masa khalifah Usman beliau mulai dilirik
banyak sahabat sebagai tempat bertanya dan meminta nasihat terutama dalam
urusan yang berhubungan dengan pribadi seseorang. Terutama ketika keharusan
mandi janabat yang waktu itu masih diperselisihkan, lalu beliau berkata sebuah
hadits yang intinya ketika sudah berjima
maka diwajibkan mandi janabat.
Ketika memasuki masa khalifah Usman, ilmunya
semakin berlambah luas seiring dengan bertambahnya wilayah kekuasaan Islam.
Maka banyak orang datang dari berbagai penjuru untuk bertanya tentang berbagai
hal. Seperti masa khalifah yang lalu, kehidupan istri-istri nabi terjamin.
Sehingga ketika mereka akan berhaji mereka disediakan pengawalan yang sangat
ketat. Aisyah sangat menghormati setiap sahabat nabi yang menjadi khalifah
termasuk Utsman. Sehingga ketika ada orang yang mencemooh nya Aisyah langsung
menyindirnya dengan “semoga Allah mengutuk orang yang mencela Usman. Karena aku
pernah melihat Rasulullah SAW menyandarkan kakinya pada beliau ketika menerima
wahyu”. Namun pada masa ini sangat banyak fitnah yang menuduh pada Usman dengan
berbagai adu domba hingga beliau dibunuh oleh seorang kafir dan kematiannya itu
sangat disayangkan oleh banyak orang sehingga menimbulkan banyak perselisihan.
Ketika masa Ali, awalnya berjalan dengan baik
namun karena Aisyah yang sedang dikuasai olek kekesalan ditambah adu domba oleh
Mu’awiyah sehingga Aisyah melakukan kesalahan yang sangat buruk. Ketika terjadi
perang jamal, Aisyah waktu itu berada di pihak Mu’awiyah. Sehingga ketika
beliau melihat kaum muslimin saling berperang beliau maju sambil mengacungkan
Al-Qur’an dengan maksud agar kembali kepada Al-qur’an, namun hal itu membuatnya
diburu oleh kaum kafir yang saat itu ada dalam peperangan. Beliau hampir tewas
namun beruntung dengan siasat Ali, Aisyah bisa diselamatkan. Hingga akhirnya
Aisyah menjadi sangat menyesal dan meminta maaf pada Ali yang selama ini telah
menjadi salah dimata Aisyah yang terpengaruh kekesalan terbunuhnya Usman dan
provokator Mu’awiyyah. Dan sejak saat itu Aisyah menjadi menyesali perang Jamal
tersebut dan sangat hati-hati terhadap
Mu’awiyyah.
Dalam
hidupnya yang penuh jihad, Siti Aisyah wafat dikarenakan sakit pada usia 66
tahun, bertepatan dengan bulan Ramadhan, tahun ke-58 Hijriah. Ia dimakamkan di
Baqi’. Aisyah dimakamkan pada malam itu juga (malam Selasa tanggal 17 Ramadhan)
setelah shalat witir. Ketika itu, Abu Hurairah datang lalu menshalati jenazah
Aisyah, lalu orang-orang pun berkumpul, para penduduk yang tinggal di
kawasan-kawasan atas pun turun dan datang melayat. Tidak ada seorang pun yang
ketika itu meninggal dunia dilayat oleh sebegitu banyak orang melebihi pelayat
kematian Aisyah.
5. BIOGRAFI IBNU `ABBAS
Abdullah bin `Abbas bin `Abdul Muththalib bin Hasyim lahir di Makkah
tiga tahun sebelum hijrah. Ayahnya adalah `Abbas, paman Rasulullah, sedangkan
ibunya bernama Lubabah binti Harits yang dijuluki Ummu Fadhl yaitu saudara dari
Maimunah, istri Rasulullah. Beliau dikenal dengan nama Ibnu `Abbas. Selain itu,
beliau juga disebut dengan panggilan Abul `Abbas. Dari beliau inilah berasal
silsilah khalifah Dinasti `Abbasiyah.
Ibnu `Abbas adalah salah satu dari
empat orang pemuda bernama `Abdullah yang mereka semua diberi titel
Al-`Abadillah. Tiga rekan yang lain ialah ‘Abdullah bin `Umar (Ibnu `Umar),
`Abdullah bin Zubair (Ibnu Zubair), dan `Abdullah bin Amr. Mereka termasuk
diantara tiga puluh orang yang menghafal dan menguasai Al-Qur’an pada
saat penaklukkan Kota Makkah. Al-`Abadillah juga merupakan bagian dari lingkar
`ulama yang dipercaya oleh kaum muslimin untuk memberi fatwa pada waktu itu. Pada diri beliau terkumpul banyak
kemuliaan:
·
Kemuliaan
sahabat karena ia salah satu sahabat mulia Rasulullah SAW.
·
Kemuliaan
nasab karena beliau adalah anak paman Rasulullah SAW.
·
Kemuliaan
ilmu karena beliau adalah habrul ummah (ulamanya umat) dan turjumanul qur’an(penafsir al-Qur’an),
·
Kemuliaan
takwa karena beliau adalah orang yang banyak puasa di siang hari, banyak shalat
di malam hari, dan banyak menangis karena takut kepada Allah azza wajallah.
·
Kemuliaan
paras karena beliau adalah seorang yang tampan dan gagah, berwibawa, sempurna
akalnya, suci hatinya, terhitung di antara laki-laki yang sempurna.
Beliau senantiasa mengiringi Nabi. Beliau menyiapkan air untuk wudhu` Nabi. Ketika shalat, beliau berjama`ah bersama Nabi. Apabila Nabi melakukan perjalanan, beliau turut pergi bersama Nabi. Beliau juga kerap menhadiri majelis-majelis Nabi. Akibat interaksi yang sedemikian itulah, beliau banyak mengingat dan mengambil pelajaran dari setiap perkataan dan perbuatan Nabi. Dalam pada itu, Nabi pun mengajari dan mendo`akan beliau.
Pernah satu hari Rasul memanggil
`Abdullah bin `Abbas yang sedang merangkak-rangkak di atas tanah, menepuk-nepuk
bahunya dan mendoakannya, “Ya Allah, jadikanlah Ia seorang yang mendapat
pemahaman mendalam mengenai agama Islam dan berilah kefahaman kepadanya di
dalam ilmu tafsir.”
Ibnu `Abbas juga bercerita, “Suatu
ketika Nabi hendak ber-wudhu, maka aku bersegera menyediakan air untuknya.
Beliau gembira dengan apa yang telah aku lakukan itu. Sewaktu hendak memulai
shalat, beliau memberi isyarat supaya aku bendiri di sebelahnya. Namun, aku
berdiri di belakang beliau. Setelah selesai shalat, beliau menoleh ke arahku
lalu berkata, ‘Hai `Abdullah, apa yang menghalangi engkau dari berada di
sebelahku?’ Aku berkata, ‘Ya Rasulullah, engkau terlalu mulia dan terlalu agung
pada pandangan mataku ini untuk aku berdiri bersebelahan denganmu.’ Kemudian
Nabi mengangkat tangannya ke langit lalu berdoa, ‘Ya Allah, karuniakanlah ia
hikmah dan kebijaksanaan dan berikanlah perkembangan ilmu daripadanya.
Usia Ibnu `Abbas baru menginjak 15 atau 16
tahun ketika Nabi wafat. Setelah itu, pengejarannya terhadap ilmu tidaklah
usai. Beliau berusaha menemui sahabat-sahabat yang telah lama mengenal Nabi
demi mempelajari apa-apa yang telah Nabi ajarkan kepada mereka semua. Tentang
hal ini, Ibnu `Abbas bercerita bagaimana beliau gigih mencari hadits yang belum
diketahuinya kepada seorang sahabat penghafal hadits:
“Aku pergi menemuinya sewaktu dia
tidur siang dan membentangkan jubahku di pintu rumahnya. Angin meniupkan debu
ke atas mukaku sewaktu aku menunggunya bangun dan tidurnya. Sekiranya aku
ingin, aku bisa saja mendapatkan izinnya untuk masuk dan tentu dia akan
mengizinkannya. Tetapi aku lebih suka menunggunya supaya dia bangun dalam keadaan
segar kembali. Setelah ia keluar dan mendapati diriku dalam keadaan itu, dia
pun berkata. ‘Hai sepupu Rasulullah! Ada apa dengan engkau ini? Kalau engkau
mengirimkan seseorang kemari, tentulah aku akan datang menemuimu.’ Aku berkata,
“Akulah yang sepatutnya datang menemui engkau, karena ilmu itu dicari, bukan
datang sendiri.’ Aku pun bertanya kepadanya mengenai hadits yang diketahuinya
itu dan mendapatkan riwayat darinya.”
Dengan kesungguhannya mencari ilmu,
baik di masa hidup Nabi maupun setelah Nabi wafat, Ibnu `Abbas memperolah
kebijaksanaan yang melebihi usianya. Karena kedalaman pengetahuan dan
kedewasaannya, `Umar bin Khaththab menyebutnya ‘pemuda yang tua (matang)’.
Khalifah `Umar sering melibatkannya ke dalam
pemecahan permasalahan-permasalahan penting negara, malah kerap mengedepankan
pendapat Ibnu `Abbas ketimbang pendapat sahabat-sahabat senior lain. Argumennya
yang cerdik dan cerdas, bijak, logis, lembut, serta mengarah pada perdamaian
membuatnya andal dalam menyelesaikan perselisihan dan perdebatan. Beliau
menggunakan debat hanya untuk mendapatkan dan mengetahui kebenaran, bukan untuk
pamer kepintaran atau menjatuhkan lawan debat. Hatinya bersih dan jiwanya suci,
bebas dari dendam, serta selalu mengharapkan kebaikan bagi setiap orang, baik
yang dikenal maupun tidak.
`Umar juga pernah berkata,
“Sebaik-baik tafsir Al-Qur’an ialah dari Ibnu `Abbas. Apabila umurku masih
lanjut, aku akan selalu bergaul dengan `Abdullah bin `Abbas.” Sa`ad bin Abi
Waqqas menerangkan, “Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih cepat dalam
memahami sesuatu, yang lebih berilmu dan lebih bijaksana daripada Ibnu `Abbas.”
Ibnu
`Abbas tidak hanya dikenal karena
pemikiran yang tajam dan ingatan yang kuat, tapi juga dikenal murah hati.
Teman-temannya berujar, “Kami tidak pernah melihat sebuah rumah penuh dengan
makanannya, minumannya, dan ilmunya yang melebihi rumah Ibnu `Abbas.”
`Ubaidullah bin `Abdullah bin Utbah berkata, “Tak pernah aku melihat seseorang
yang lebih mengerti tentang hadits Nabi serta keputusan-keputusan yang dibuat
Abu Bakar, `Umar, dan `Utsman, daripada Ibnu `Abbas.”
Perawakan Ibnu `Abbas tinggi tapi
tidak kurus, sikapnya tenang dan wajahnya berseri, kulitnya putih kekuningan
dengan janggut diwarnai. Sifatnya terpuji, memiliki budi pekerti yang mulia,
rendah hati, simpatik-empatik penuh kecintaan, ramah dan akrab, namun tegas dan
tidak suka melakukan perbuatan sia-sia. Masruq berkata mengenainya, “Apabila
engkau melihat `Abdullah bin `Abbas maka engkau akan mengatakan bahwa ia
seorang manusia yang tampan. Apabila engkau berkata dengannya, niscaya engkau
akan mengatakan bahwa ia adalah seorang yang paling fasih lidahnya. Jikalau
engkau membicarakan ilmu dengannya, maka engkau akan mengatakan bahwa ia adalah
lautan ilmu.”
Saat ditanya, “Bagaimana Anda
mendapatkan ilmu ini?” Ibnu `Abbas menjawab, “Dengan lisan yang gemar bertanya
dan akal yang suka berpikir.” Terkenal sebagai ‘`ulama umat ini’, Ibnu `Abbas
membuka rumahnya sebagai majelis ilmu yang setiap hari penuh oleh orang-orang
yang ingin menimba ilmu padanya. Hari-hari dijatah untuk membahas Al-Qur’an,
fiqh, halal-haram, hukum waris, ilmu bahasa, syair, sejarah, dan lain-lain. Di
sisi lain, Ibnu `Abbas adalah orang yang istiqomah dan rajin bertaubat. Beliau
sering berpuasa dan menghidupkan malam dengan ibadah, serta mudah menangis
ketika menghayati ayat-ayat Al-Qur’an.
Sebagaimana lazimnya kala itu,
pejabat pemerintahan adalah orang-orang `alim. Ibnu `Abbas pun pernah menduduki
posisi gubernur di Bashrah pada masa kekhalifahan `Ali. Penduduknya bertutur
tentang sepak terjang beliau, “Ia mengambil tiga perkara dan meninggalkan tiga
perkara. Apabila ia berbicara, ia mengambil hati pendengarnya; Apabila ia
mendengarkan orang, ia mengambil telinganya (memperhatikan orang tersebut);
Apabila ia memutuskan, ia mengambil yang termudah. Sebaliknya, ia menjauhi
sifat mencari muka, menjauhi orang berbudi buruk, dan menjauhi setiap perbuatan
dosa.”
`Abdullah bin Abbas meriwayatkan
sekitar 1.660 hadits. Dia sahabat kelima yang paling banyak meriwayatkan hadist
sesudah `Aisyah. Beliau juga aktif menyambut jihad di Perang Hunain, Tha`if,
Fathu Makkah dan Haji Wada`. Selepas masa Rasul, Ia juga menyaksikan
penaklukkan afrika bersama Ibnu Abu As-Sarah, Perang Jamal dan Perang Shiffin
bersama `Ali bin Abi Thalib. Salah satu hadis yang diriwayatkan beliau dari
Rasulullah S.AW. yaitu :
- Ibnu Abbas pernah didekap Rasulullah SAW, kemudian Rasulullah SAW berkata, Ya Allah, ajarkanlah kepadanya hikmah. Yang dimaksud hikmah adalah pemahaman terhadap Al-Qur'an.
- Aku bersama bapakku di sisi Rasulullah dan di samping Rasulullah ada seorang laki-laki yang membisikinya. Maka seakan-akan beliau berpaling dari bapakku. Kemudian kami beranjak dari sisi Rasulullah seraya bapakku berkata, Wahai anakku, tahukah engkau kenapa anak laki-laki pamanmu (Rasulullah) seperti berpaling (menghindari aku)? Maka aku menjawab, Wahai bapakku, sesungguhnya di sisi Rasulullah ada seorang laki-laki yang membisikinya. Ibnu Abbas berkata, Kemudian kami kembali ke hadapan Rasulullah lantas bapakku berkata, Ya Rasulullah aku berkata kepada Abdullah seperti ini dan seperti itu, kemudian Abdullah menceritakan kepadaku bahwa ada seorang laki-laki di sampingmu yang berbisik-bisik kepadamu. Apakah benar memang ada seseorang di sampingmu? Rasulullah balik bertanya, Apakah engkau melihatnya ya Abdullah? Kami menjawab, Ya. Rasulullah bersabda, Sesungguhnya ia adalah Jibril alaihiwassalam. Dialah yang menyibukkan kami dari kamu sekalian.
- Abbas mengutus Ibnu Abbas kepada Rasulullah dalam suatu keperluan, dan Ibnu Abbas menjumpai Rasulullah bersama seorang laki-laki. Maka tatkala ia kembali dan tidak bicara kepada Rasulullah, maka Rasulullah bersabda, Engkau melihatnya ? Abdullah (Ibnu Abbas) menjawab, Ya, Rasulullah bersabda, Ia adalah Jibril. Iangatlah sesungguhnya ia tidak akan mati sehingga hilang pandangannya (buta) dan diberi (didatangkan ilmu).
Pada akhir masa hidupnya, Ibnu
`Abbas mengalami kebutaan. Beliau menetap di Tha`if hingga wafat pada tahun 68H
di usia 71 tahun. Demikianlah, Ibnu `Abbas memiliki kekayaan besar berupa ilmu
pengetahuan serta akhlaq `ulama.
6. BIOGRAFI ABDULLAH IBNU UMAR
Abdullah bin Umar bin Khattab (bahasa Arab : عبد الله بن عمربن الخطاب) atau sering disebut Abdullah
bin Umar atau Ibnu Umar saja (lahir 612 - wafat 693/696 atau 72/73 H) adalah seorang sahabat
Nabi dan merupakan
periwayat hadis yang terkenal.
Ia adalah anak dari Umar bin Khattab, salah seorang sahabat utama Nabi
Muhammaddan Khulafaur
Rasyidin yang kedua.
Abdullah adalah
putra khalifah ke dua Umar bin al Khattab saudara kandung Sayiyidah Hafshah
Ummul Mukminin. Ia salah seorang diantara orang-orang yang bernama Abdullah
(Al-Abadillah al-Arba’ah) yang terkenal sebagai pemberi fatwa. Tiga orang lain
ialah Abdullah bin Abbas, Abdullah bin al asr dan Abdullah bin az zubair.
Ibnu Umar masuk
Islam bersama ayahnya saat ia masih kecil, dan ikut hijrah
ke Madinah bersama ayahnya. Pada usia 13 tahun ia
ingin menyertai ayahnya dalam Perang Badar, namun Rasulullah menolaknya. Perang pertama yang diikutinya adalah Perang
Khandaq. Ia ikut
berperang bersama Ja’far bin Abu Thalib dalam Perang
Mu’tah, dan turut
pula dalam pembebasan kota Makkah (Fathu Makkah). Setelah Nabi Muhammad meninggal,
ia ikut dalam Perang Yarmuk dan dalam penaklukan Mesir serta daerah lainnya di
Afrika.
Ibnu Umar
dilahirkan tidak lama setelah Nabi diutus Umurnya 10 tahun ketika ikut masuk
bersama ayahnya. Kemudian mendahului ayahnya ia hijrah ke Madinah. Pada saat
perang Uhud ia masih terlalu kecil untuk ikut perang. Dan tidak mengizinkannya.
Tetapi setelah selesai perang Uhud ia banyak mengikuti peperangan, seperti
perang Qadisiyah, Yarmuk, Penaklukan Afrika, Mesir dan Persia, serta penyerbuan
basrah dan Madain.
Khalifah Utsman
bin Affan pernah menawari
Ibnu Umar untuk menjabat sebagai hakim, tapi ia tidak mau menerimanya. Setelah
Utsman terbunuh, sebagian kaum muslimin pernah berupaya membai'atnya menjadi
khalifah, tapi ia juga menolaknya. Ia tidak ikut campur dalam pertentangan
antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi Sofyan. Ia cenderung menjauhi dunia politik, meskipun ia sempat
terlibat konflik dengan Abdullah bin Zubair yang pada saat itu telah menjadi
penguasa Makkah.
Ibnu Umar
adalah seorang yang meriwayatkan hadist terbanyak kedua setelah
Abu Hurairah, yaitu
sebanyak 2.630 hadits, karena ia selalu mengikuti kemana Rasulullah
pergi. Bahkan Aisyah
istri Rasullulah
pernah memujinya dan
berkata :"Tak seorang pun mengikuti jejak langkah Rarasulullah
di tempat-tempat pemberhentiannya,
seperti yang telah dilakukan Ibnu Umar". Ia bersikap sangat berhati-hati
dalam meriwayatkan hadist Nabi. Demikian pula dalam mengeluarkan fatwa, ia
senantiasa mengikuti tradisi dan sunnah Rasulullah, karenanya ia tidak mau melakukan
ijtihad biasanya ia
memberi fatwa pada musim
haji, atau pada
kesempatan lainnya.
Di antara para
Tabi’in, yang paling
banyak meriwayatkan darinya ialah Salim dan hamba sahayanya, Nafi'. Az-Zuhri
tidak pernah meninggalkan pendapat Ibnu Umar untuk beralih kepada pendapat
orang lain. Imam Malik dan az-Zuhri berkata: ”Sungguh, tak ada satupun dari
urusan Rasulullah dan para sahabatnya yang tersembunyi bagi Ibnu Umar”. Ia
meriwayatkan hadits dari Abu Bakar, Umar, Utsman, Sayyidah Aisyah, saudari
kandungnya Hafshah dan Abdullah bin Mas’ud. Yang meriwayatkan dari Ibnu Umar
banyak sekali, diantaranya Sa’id bin al-Musayyab, al Hasan al Basri, Ibnu
Syihab az-Zuhri, Ibnu Sirin, Nafi’, Mujahid, Thawus dan Ikrimah.
Kesalehan Ibnu
Umar sering mendapatkan pujian dari kalangan sahabat Nabi dan kaum muslimin
lainnya Jabir bin Abdullah berkata: " Tidak ada di antara kami disenangi oleh dunia dan dunia
senang kepadanya, kecuali Umar dan putranya Abdullah." Abu Salamah bin Abdurrahman
mengatakan: "Ibnu Umar meninggal dan keutamaannya sama seperti Umar. Umar
hidup pada masa banyak orang yang sebanding dengan dia, sementara Ibnu Umar
hidup pada masa yang tidak ada seorang pun yang sebanding dengan dia".
Dalam
urusan ittiba’ (mencontoh Nabi), Abdullah bin Umar sangat bersemangat
pohon dekat kota Madinah sebagaimana Nabi pernah mampir dan tidur di tempat
tersebut. Aisyah, istri Rasulullah sampai pernah memujinya, dengan mengatakan,
“Tak seorang pun mengikuti jejak langkah
Rasulullah
di tempat-tempat pemberhentiannya, seperti yang telah dilakukan Abdullah bin
Umar.” Meski kehilangan penglihatan di masa tuanya, namun sama sekali tidak
mengurangi semangatnya menunaikan shalat lail dan berdzikir. Dalam kisah yang
lain, suatu hari Nabi memujinya, “Sebaik baik laki-laki adalah Abdullah bin
Umar, andai ia rajin shalat lail.” Sejak itu Abdullah tak pernah meninggalkan
shalat malamnya.
Adapun
aktivitas keilmuannya; adalah mempelajari tradisi dan hadis Rasulullah SAW.
Madinah sebagai tempat tinggalnya banyak memberikan inspirasi dan kecenderungan
alami dalam dirinya untuk mendengarkan dan mencatat dan menyeleksi dengan
ketat, mengkritisi kisah-kisah atau anekdot tentang Nabi saw. yang banyak
diceritakan oleh penduduk Madinah.
Dari
pengalamannya ini, Abdullah bin Umar bersama sahabatnya ‘Abdullah bin ‘Abbas
menjadi perintis paling awal bidang kajian tradisi dan hadis Nabi saw. Selain
penghafal al-Qur’an secara sempurna, juga merupakan perawi hadis terbayak kedua
setelah Abu Hurairah Hadis yang diriwayatkannya mencapai 2.630 hadis.
Sanad
paling shahih yang bersumber dari ibnu Umar adalah yang disebut Silsilah adz-
Dzahab (silsilah emas), yaitu Malik, dari Nafi’, dari Abdullah bin Umar. Sedang
yang paling Dlaif : Muhammad bin Abdullah bin al-Qasim dari bapaknya, dari
kakeknya, dari ibnu Umar.
Ibnu Umar
adalah seorang pedagang sukses dan kaya raya, tetapi juga banyak berderma. Ia
hidup sampai 60 tahun setelah wafatnya Rasulullah. Ia kehilangan
pengelihatannya pada masa tuanya. Ia wafat dalam usia lebih dari 80 tahun, dan
merupakan salah satu sahabat yang paling akhir yang meninggal di kota
Makkah.
Ia
wafat pada tahun 73 H, ada yang mengatakan bahwa Al-Hajjaj menyusupkan seorang
kerumahnya yang lalu membunuhnya. Dikatakan mula mula diracun kemudian di
tombak dan di rejam. Pendapat lain mengatakan bahwa ibnu Umar meninggal secara
wajar.
BIOGRAFI TABI’IN
YANG BANYAK MERIWYATKAN HADIS
1. BIOGRAFI
AL-ZUHRI (50-124)
Nama lengkapnya adalah Abu Bakar
Muhammad ibn muslim ibn’ Ubaidillah ibn Syihab ibn Abdullah ibn al-Harits ibn
Zuhrah ibn Kilab ibn Murrah al-Qurasyi al-Zuhri al-Madani, beliau lahir pada
tahun 50 H, yaitu pada masa pemerintahan khalifah mu’awiyah ibn Abi Sufyan.
Al-Zuhri hidup pada akhir masa
sahabat, dan dia masih bertemu dengan sejumlah sahabat ketia dia berusia 20
tahun lebih. Oleh karenanya, dia mendengar hadits dari para sahabat seperti
Anas ibn Malik. Abdullah ibn Umar, Jabir ibn Abdillah, Sahal ibn Sa’ad, Abu
At-Thufail, Al-Masur ibn Makhramah dan lainnya.
Menurut para ulama, seperti
dikatakan Umar bin Abd al-Aziz, Ayyub dan al-Laits, tidak ada ulama yang lebih
tinggi kemampuannya khususnya dalam bidang ilmu agama dari al-Zuhri, ia seperti
yang dikatakan al-As-Zalani, mendapat beberapa gelar, antara lain al-Faqih,
al-Hafizh al-Madani dan lain-lain.
Ada sebuah kisah tentang kesetiaan
dan keteguhan hafalannya terlihat ketika suatu hari Hisyam ibn Abd al-Malik
memintanya untuk mendiktekan sejumlah hadits untuk anaknya. Lantas al-Zuhri
meminta menghadirkan seorang juru tulis dan kemudian dia mendiktekan sejumlah
400 hadits. Setelah berlalu lebih sebulan, al-Zuhri bertemu kembali dengan
Hisyam, ketika itu Hisyan mengatakan kepadanya bahwa kitab yang berisikan 400
hadits tempom hari telah hilang. Al-Zuhri menjawab, “Engkau tidak akan
kehilangan hadits-hadits itu,” kemudian dia meminta seorang juru tulis, lalu
dia mendiktekan kembali hadits-hadits tersebut, setelah itu, dia menyerahkan
kepada Hisyam dan isi kitab tersebut ternyata satu huruf pun tidak berubah dari
isi kitab yang pertama.
Al-Zuhri adalah seorang yang sangat
intens dan bersemangat dalam memelihara sanad hadits bahkan beliau yang pertama
menggalakan penyebutan sanad hadits tatkala meriwayatkannya. Dan beliau telah
memberikan perhatian yang besar dalam pengkajian dan penuntutan ilmu hadits,
bahkan beliau bersedia memberikan bantuan materi terhadap mereka yang
berkeinginan mempelajari hadits namun tidak mempunyai dana untuk itu. Al-Zuhri
memiliki sekitar 2000/2200 hadits. Menurut al-Nasdi ada empat jalur sanad yang
terbaik dari beliau yaitu :
a
Al-Zuhri dari Ali ibn al-Husain, dari ayahnya dari kakeknya.
b
Al-Zuhri dari Ubaidillah, dari ibn Abbas.
c
Al-Zuhri dari Ayyub, dari Muhammad dari Ubaidah dari Ali.
d
Al-Zuhri dari manshur, dari ibrahim dari Al-Qamah dari Abdullah.
Beliau meninggal dunia pada bulan
Ramadhan tahun 124 H.
2.
BIOGRAFI HAFSHAH BINTI SIRRIN
Nama
dan nasabnya
Hafsoh
binti Sirin, adapun ibunya adalah Shafiyyah, dia mempunyai kunyah Ummu Hudzail
al-Anshari.
Kelahirannya
Beliau rahimahallah dilahirkan pada masa kekhalifahan Ustman bin Afan radhiyallahu ‘anhu pada tahun 31 H.
Beliau rahimahallah dilahirkan pada masa kekhalifahan Ustman bin Afan radhiyallahu ‘anhu pada tahun 31 H.
Ilmunya
Semenjak
kecilnya, ia sangat mencintai ilmu dan giat dalam menuntutnya. Dengan
kesungguhannya tersebut, dia berusaha menimba ilmu dari para shahabat dan
shahabiyat yang telah merasakan manisnya petunjuk kenabian, khususnya kepada
ustadnya Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu. Maka Allah Ta’ala mengaruniakan
kepadanya ilmu yang luas tentang agama ini. Ia melahirkan banyak murid yang terkenal
dengan keilmuan mereka, seperti Ayub as-Sikhtiyani, Qotadah bin Da’amah
as-Sudusi, Hisyam bin Hassaan, Khalid al-Khadza dan selain mereka.
Diriwayatkan
di dalam kitab Sifatush Sofwah (4/24), bahwa Ibnu Sirin jika ia kesulitan dalam
bacaan al-Qur-an, ia mengatakan kepada muridnya: “Pergilah kalian kepada
Hafshah dan tanyalah dia bagaimana cara membacanya.”
Ibadahnya
Hafsah
seorang wanita yang gemar beribadah, dia masuk ke dalam masjidnya dan shalat
padanya Dhuhur, Ashar, Magrib, Isya, dan Subuh, dia tidak beranjak dari
masjidnya sampai matahari meninggi. Ketika ia keluar dari masjid beliau berwudu
dan beristirahat, hingga tiba waktu shalat berikutnya, yang dengannya ia pun
kembali ke masjidnya. Dia juga adalah wanita yang banyak berpuasa dan banyak melakukan
shalat(sunnah), ini semua beliau lalui selama tiga puluh tahun dari masa
hidupnya,
Hafsah binti Sirin Ia adalah saudara perempuan Muhammad bin
Sirin: seorang Tabi’in yang senantiasa beribadah dan sekaligus ahli dalam
bidang fiqih. Khafasah hafal Al-Qur’an dengan sangat baik semenjak berusia 12
tahun. Bahkan Muhammad bin Sirin sendiri di saat merasa kesukaran dalam
memahami sesuatu yang berhubungan dengan al Qur’an, memerintahkan kepada
muridnya untuk pergi menghadap Hafsah. la berkata
1 ـ��
عن أنس بن مالك ـ رضي الله عنه ـ قال : أََخَذَ النَبٍي ـ صلى الله عليه وسلم ـ
إبراهيم ، فَقَبَّلَهُ وشمَّهُ��...
Saat ini banyak pria yang memakai cincin emas atau kain
sutera. Bahkan saat pernikahan, sering mempelai pria dan wanita sama-sama
memakai cincin kawin yang terbuat dari emas. Padahal haram bagi lelaki untuk
memakai cincin...
Syiar Islam kini mulai tumbuh subur di Serbia, negara di
semenanjung Balkan yang semula berhaluan komunis. Salah satu indikatornya,
makin banyak Muslimah yang tak takut lagi menunjukkan identitasnya dengan
mengenaka...
Memuliakan keluarga juga berarti meningkatkan kualitas
hubungan antara orang tua dan anak. Dalam�
hal ini, patokan paling utama adalah perintah Allah Taala kepada orang-orang
beriman untuk menjaga keselamatan kelu...
Perdana Menteri Turki Receb Thayyib Erdogan menegaskan bahwa
Turki mendukung Gerakan Perlawanan Islam Hamas, karena sebagai gerakan
perlawanan yang membela tanah airnya. Selain itu Hamas adalah gerakan politik
yang ikut p
Kata-kata sanjungan untuknya
Hisyam bin hasan berkata: “Aku
telah melihat hasan dan Ibnu Sirin(Abdullah bin Sirin) namun aku tidak
mendapati dari mereka yang lebih pandai dari Hafshah”.
Ibnu Abi Daud berkata: “Dua
pemimpin wanita tabi’in mereka adalah Hafshah binti Sirin dan Amrah binti
Abdurrahman dan setelah mereka berdua adalah Ummu Darda”. (Thabaqat al-Hanafiyah).
Diriwayatkan dari Iyas bin
Mu’awiyah, dia berkata: “Aku tidak mendapati seorang yang lebih utama
dari padanya(Hafshah binti Sirin).
Penggalan
kisah Hafshah bersama anaknya yang tercinta
Ar-Royasyi
berkata: “Ibnu ‘Aisyah berkata; dari Ibnu Amir, dari Hisyam, dia berkata:
Hafshah binti Sirin berkata: “Anakku al-Hudzail sangat berbakti
kepadaku, di antara baktinya dia membelahkan kayu untukku pada musim panas (dan
menjemurnya -red), kemudian menyalakannya di musim dingin, agar tidak
menyebabkan asap. Hafshah juga berkata: “Dia (anakku) memerah susu onta pada
pagi hari, kemudian dia mendatangiku dan berkata: “Minumlah wahai ibu, karena
sebaik-baik susu adalah yang berada pada kelenjar susu sejak malam harinya.
Kemudian (dengan berjalannya waktu -red) dia wafat, maka Allah berikan kepadaku
kesabaran, walaupun begitu, aku dapati rasa sesak pada dadaku, yang hampir aku
tidak tenang dengannya, pada suatu malam akupun membaca ayat : “” ما عندكم ينفذ
وما عند الله باق ولنجزين الذين صبروا أجرهم بأحسن ماكانوا يعملون ” maka rasa
sesak tersebut hilang”. (المنتظم (7 /171)
Dari perkataan hikmahnya
Hafshah binti Sirin adalah seorang
wanita yang berilmu, dia mempunyai perkataan-perkataan yang penuh dengan
hikmah, diriwayatkan bahwa dia berkata: “Wahai para pemuda manfaatkanlah
masa mudamu, sesungguhnya aku tidak melihat amal perbuatan (dapat dikerjakan
dengan baik -red) kecuali di masa muda”.
Wafatnya
Hafshah binti Sirin wafat sekitar
tahun 101 H, dia wafat pada umur tujuh puluhan yang dia habiskan untuk ilmu dan
ibadah.
3.
BIOGRAFI
AMRAH BINTI ABDURRAHMAN
Seorang
tabi’iayyah di bawah asuhan sahabiyah
‘alimah faqihah. Jadilah dia dengan inayah Allah SWT seorang wanita yang bak
lautan ilmu.
‘Aisyah
bintu abi bakr Ash Shiddiq radhiallahu
anhu. Siapa yang tak pernah mendengar namanya? Siapa yang tak mengenal
keutamaannya? Seorang wanita yang banyak mendapatkan pujian karena ilmu yang
Allah SWT anugerahkan kepadanya.
Sebutlah
Qubaishah bin dzu’aib, dia mengatakan
“aku dan Abu Bakr bin ‘Abdirrahman duduk (untuk mengambil riwayat, pen.) di
hadapan Abu Hurairah radiallahu ‘anhu. Adapun ‘Urwah bin zubair mengalahkan
kami dengan seringnya masuk menemui’Aisyah radiallahu ‘anha, sementara ‘Aisyah
adalah seorang yang paling berilmu. Para tokoh dari kalangan sahabat Rasulullah
SAW bertanya kepadanya.”
Masruq
juga mengatakan, “ Aku melihat para sesepuh dari kalangan sahabat Muhammad SAW
bertanya kepadanya tentang faraidh (ilmu hokum waris). “biasanya bila
meriwayatkan hadis dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anhu, Masruq mngatakan, “telah
menyampaikan kepadaku Ash Shiddiq, kecintaan seorang yang dicintai Allah SWT,
yang dapat pembebasan atas berita dusta dari atas tujuh langit”.
Kemenakan
‘Aisyah radiallahu ‘anhayang banyak mengambil ilmu darinya, ‘Urwah bin Az Zubair,
juga memeji bibinya, “Aku tidak pernah melihat seorang pun yang lebih
mengetahui tentang fiqih, maupun syair daripada ‘Aisyah.” Begitu pula ‘Atha bin
Abi Rabah menyatakan, “Aisyah adalah orang yang paling fiqih, paling alim, dan
paling bagus pandangannya.” Pujian dating pula dari Az Zuhri, “Seandainya ilmu
ummul mukminin’Aisyah radhiallahu ‘anhahendak dibandingkan dengan ilmu para
istri Nabi SAW, yang lain dan ilmu seluruh wanita muslimah, sugguh ilmu Aisyah
lebih utama.”
Dengan
keutamaan dari Allah SWT, kemudian mulai bimbingan ‘Aisyah radhiallahu ‘anha,
banyak orang yang mewarisi ilmunya. Banyak tokoh besar yang lahir melalui kedua
tangannya. Di antara mereka ada tabi’iyyah yang banyak mendulang ilmu ‘Aisyah.
Dialah
‘Amrah bintu Abdurrahman bin sa’d bin Zurarah bin ‘Udus Al Anshariyah An
Najjariah. Dia muri ummul Mukminin ‘Aisyah binti Abu Bakar As Siddiq
radhiallahu anhu, seoarang sahabiyah yang dikenal keluasaan ilmunya, hingga
jadilah ‘Amrah seorang wanita alimah fiqihah, dan banyak ilmunya.
SELAIN
DARI Aisyah, Amrah juga mengambil riwayat dari ummu Salamah, Rafi’ bin Khadij,
serta saudari seibunya, Ummu Hisyam bintu haritsah eadhiallahu anha, dan yang
lainnya.
Di
antara orang orang yang mengambil riwayat dari Amrah, tercatat putranya
sendiri, Abur Rijal Muhammad bin
Abdirrahman, kedua putra Abur Rijal, Haritsah bin Malik, kemenakannya. Al Qadhi
Abu Bakar bin Hazm beserta dua putranya, Abdullah dan Muhammad, Az Zuhri, Yahya
bin Sa’id Al Anshari, dan masih banyak lagi. Ibnu Syihab Az Zuhri pernah dinasehati
oleh Al Qasim bin Muhammad, “Wahai anak muda, kulihat kau begitu semangat
menuntut ilmu. Maukah kau kutunjukkan bejana pada bejana ilmu?” “Tentu,”
jawabnya.
“Hendaknya
engkau mengambil ilmu dari Amrah, karena dia dulu berada dalam bimbingan
Aisyah.”
Ibnu
syihab menurut saran itu. “ternyata kudapati dia bagagaikan lautan yang takkan bisa habis dikuras,”
katanya kemudian. Amrah bintu Abdurrahman wafat pada tahun 106 H dalam usia 77
tahun. Dia meninggalkan jejak yang indah dalam kitab kitab hadits sepanjang
sejarah. Amrah bintu Abdurrahman, semoga Allah SWT meridhohinya….
4. UMMU
DARDA’ ASH SHUGHRA
Seorang
anak perempuan yatim diasuh oleh Abud Darda’ Uwaimir Al Anshari z. Hujaimah
bintu Huyai Al Washshabiyah namanya, berasal dari Washshab, salah satu di Himyar.
Selama
dalam asuhan Abud Darda’ z, Hujaimah kecil biasa diajak oleh Abud Darda’
menghadiri shalat berjamaah ditengah
shaf laki laki dengan mengenakan burnus, sejes pakayan yang mempunyai
penutup kepala, dan duduk bersamanya di halqah halqah para pembaca Al Qur’an
untuk mempelajari Al Qur’an. Ketika mulai beranjak besar, Abud Darda’ menyuruh
hujaimah untuk bergabung dengan shaf para wanita.
Tumbuh
dalam asuhan seorang sahabat yang mulia, dengan keutamaan Allah, Hujaimah
menjadi seorng wanita yang berilmu. Kemudian Abud Darda’ meminang Hujaimah
kepada keluarganya kemudian menikahinya. Berkunyahlah Hujaimah dengan nama
Ummud Darda’ Ash Shughra. Dalam perjalanannya menempuh rumah tangga bersama
Ummud Darda’ Ash Shughra rahimallah, Abud Darda’ pernah berpesan,
“Bila kau marah, aku membuatmu ridha kembali. Karena
itu, bila aku marah buat aku ridha. Kalau tidak demikian, betapa cepatnya kita
akan berpisah.”
Ummud
Darda’ semakin banyak mengambil ilmu dari suaminya. Selain dari Abud Darda’
Ummud Darda’ Ash Shughra juga mengambil riwayat dari Fadhalah bin Ubaid Al
Anshari, Salaman, Al Firisi, Ka’b bin Ashim Al Syi’ari, Ummul Mukminin Aisyah,
Abu Hurairah, serta para sahabat yang lainnya. Menjelang Abud Darda’ wafat,
Ummud Darda’ pernah mengatakan kepadanya, “Dulu kau pinang diriku pada
keluargaku di dunia, lalu mereka menikahkanku denganmu. Sekarang kupinang engkau
epada dirimu untuk nanti di akhirat.”
“Kalau
begitu, jangan engkau menikah lagi sepeninggalku,“ ujar Abud Darda’.
Ummud
Darda’ benar benar memenuhi keinginan Abud Darda’. Setelah meninggal Abud
Darda’, Mu’awiyah bin Abi Sufyan datang menyampaikan pinangan. Saat itu Ummud
Darda’ masih muda dan dikenal kecantikannya. Ummud Darda’ menolak. “tidak,” katanya
“Aku tidak akan menikah lagi dengan seorang pun di dunia sampai aku menikah
Abud Darda’ di dalam surga, insya Allah.” “Kalau demikian,
hendaknya engkau memperbanyak puasa, “kata Mu’awiyah. Ummud Darda’ rahimahallah
dikenal dengan ilmu, amal, dan zuhudnya. Sekian banyak orang yang mengambil
ilmu dan riwayat darinya. Banyak pujian yang menunjukkan kemuliaannya sebagi
seorang faqih. Banyak pula nasehat yang dia tinggalkan.
Abdur
Rabbih bin Sulaiman bin Umair bin Zaitun mengatakan, “Ummud Darda’ pernah
menuliskan untukku di lembaran catatanku tentang hikmah yang diajarkanya
kepadaku, “Pelajarilah hikmah semasa mudahmu, niscaya nanti akan kau amalkan di
masa tuamu, karena setiap orang yang menanam pasti kelak akan menuai hasilnya,
baik berupa kebaikan maupun kejelekan”.
Usman
bin Hayyan, mula Ummud Darda’ mengisahkan: Aku pernah mendengar Ummud darda’
mengatakan, “Bagaimana kiranya keadaan salah seorang diantara kalian yang
mengatakan: ‘Ya Allah, berilah aku rezeki’, sementara Allah tidaklah menurunkn
hujan dinar ataupun dirham dari langit. Namun Allah berkan rezeki sebagian dari
sebagian dari yang lain. Karena itu, barang siapa yang diberi, hendaknya
menerima pemberian itu. Barang siapa yang berkecukupan, hendaknya memberi
saudaranya yang memiliki kebutuhan. Dan jika dia fakir, hendaknya dia meminta
tolong kepadanya untuk memenuhi kebutuhannya, dan janganlah dia menolak rezeki
ang Allah berikan kepadanya’.”
Ummud
Darda’ rahimahallah pernah juga membrkan nasehat, “Sesugguhnya berzikir kepada
Allah itu adalah perkara yang paling besar. Kalau kau shalat, maka itu termasuk
zikirullah. Kalau engkau puasa, itu termasuk zikirullah. Segala kebaikan
yang kau lakukan, itu pun termasuk
zikirullah. Setiap kejahatan yang kau jauhi, maka itu termasuk zikirullah. Dan yang
paling utma adalah bertasbilah kepada Allah SWT.”
Usman
bin Hayyan menceritakan pula, “Kmi pernah makan bersama Ummud Darda’, lalu kami
lupa memuji Allah. Ummud Darda’ pun mengatakan, ‘Nak, jangan kalian lupa
membumbui makanan kalian dengan zikirullah. Makan disetai memuji Allah itu
lebih baik dari pada makan sambil diam saja (tidak memuji Allah)’.”
Ummud
Darda’ rahimahallah sempat menunaikan haji pada tahun 81 H. ummud Darda’ Ash Ashughra
rahimahallah, sebuah permisalan kehidupan seorang wanita yang sarat dengan
kebaikan. Semoga Allah meridhahinya.
1. BIOGRAFI IMAM BUKHARI
(194-256 H)
Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah
Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim Ibn Al-Mughirah Ibn Bardizbah al-Ju’fi
(al-Ja’fai) al- Bukhari. Dia dilahirkan pada hari jum’at 13 Syawal 194 H di
Bukhara, ayahnya Isma’il adalah adalah seorang ulama hadits yang pernah belajar
hadits dari sejumlah ulam terkenal seperti Malik ibn Anas, Hammad ibn Zaid, dan
ibn al-Mubarak. Namun, ayahnya meninggal dunia ketika Bukhari masih dalam usia
sangat muda.
Bukhari mulai mempelajari hadits
sejak usianya masih nuda sekali, bahkan sebelum mencapai usia 10 tahun.
Meskipun usianya masih sangat muda, dia memiliki kecerdasan dan kemampuan
menghafal yang luar biasa, menjelang usia 16 tahun dia telah mampu menghafal
sejumlah buku hasil karya ulam terkenal pada masa sebelumnya, seperti ibn
al-Mubarak, Waki’, dan lainnya.
Dia tidak hanya menghapal
hadits-hadits dan karya ulama terdahulu saja, tetapi juga mempelajari dan
menguasai biografi dari seluruh perawi yang terlibat dalam periwayatan setiap
hadits yang di hafalnya, mulai dari tanggal dan tempat tanggal lahir mereka,
juga tanggal dan tempat mereka meninggal dunia, dan sebagainya.
Beliau merantau ke negeri Syam,
mesir, Jazirah sampai dua kali, ke basrah empat kali, ke Hijaz bermukim 6 tahun
dan pergi ke bagdad bersama-sama para ahli hadits yang lain, sampai
berkali-kali semua itu beliau lakukan untuk memperoleh informasi yang lengkap
mengenai suatu hadits. Baik matan ataupun sanatnya. Pada suatu ketiaka, beliau
pergi ke bagdad para ulam ahli hadits sepakat menguji ulama muda yang mulai
menanjak namanya.
Ulama hadits terdiri dari 10 orang
yang masing-masing akan mengutarakan 10 hadits kepada beliau, yang sudah di
tukar-tukar sanad dan matannya. Imam Bukhari di undangnya pada suatu pertemuan
umum yang dihadiri juga oleh muhatdditsin dari dalam dan luar kota. Bahkan
diundang juga ulam hadits dari khurasan. Satu demi satu dari ulama 10 hadits
tersebut menanyakan 10 hadits yang telah mereka persiapkan. Jawaban beliau
terhadap setiap hadits yang dikemukakan oleh penanya pertama ialah saya tidak
mengetahuinya.
Demikianlah selesai penanya pertama,
majulah penanya ke dua dengan satu persatu dikemukakan hadits yang sudah
dipersiapkan dan seterusnya sampai selesai penanya yang kesepuluh dengan
hadits-haditsnya sekali, jawabannyapun saya tidak mengetahui. Tetapi setelah
beliau mengetahui gelagat mereka yang bermaksud mengujinya, lalu beliau
menerangkan dengan membenarkan dan mengembalikan sanad-sanadnya pada matan yang
sebenarnya satu per satu sampai selesai semuanya. Para ulama yang hadir
tercengang dan terpaksa harus mengakui kepandaiannya, ketelitiannya dan
kehafalannya dalan ilmu hadits.
Beliau telah memperoleh hadits dari
beberapa hafidh, antara lain Maky bin Ibrahim, Abdullah bin Usman al-Marwazy,
Abdullah bin Musa Abbasy, Abu Ashim As-Syaibany dan Muhammad bin Abdullah
Al-Anshary. Ulama-ulama besar yang telah pernah mengambil hadits dari beliau,
antara lain : Imam Muslim, Abu Zur’ah, At-Turmudzy, Ibnu khuzaimah dan
An-Nasa’iy. Karya-karya beliau banyak sekali, antara lain :
(1) Jami’us-shahih, yakni
kumpulan tersebut berisikan hadits-hadits shahih yang beliau persiapkan selama
16 tahun lamanya. Kitab tersebut berisikan hadits-hadits shahih semuanya,
berdasarkan pengakuan beliau sendiri, ujarnya, “saya tidak memasukkan dalam
kitabku ini kecuali shahih semuanya.”
(2) Qadlayass-shahabah
wat-tabi’in.
(3) At-Tarikhu’I-Ausath.
(4) At-Tarikhu’I-Kabir
(5) At-Adabu’I-Munfarid
(6) Birru’I-Walidain.
Beliau wafat pada malam sabtu
selesai sholaat Isya, tepat pada malam Idul Fitri tahun 252 H. dan dikebumikan
sehabis sholat Dhuzur di Khirtank, suatu kampung tidak jauh dari kota
Samarkand.
2. BIOGRAFI
IMAM MUSLIM (204-261 H)
Nama lengkapnya Imam Muslim adalah
Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairy, beliau dinisbatkan kepada
Naisabury, karena beliau adalah putra kelahiran Naisabur, pada tahun 204 h,
yakni kota kecil di Iran bagian timur laut. Beliau juga dinisbatkan kepada
nenek memangnya Qusyair bin Ka’ab Rabi’ah bin Sha-sha’ah suatu keluarga
bangsawan besar.
Imam Muslim salah seorang
Muhaddisin, hafidh lagi terpercaya terkenal sebagai ulama yang gemar bepergian
mencari hadits. Ia mulai belajar hadits pada tahun 218 H saat berusia kurang
lebih lima belas tahun. Beliau kunjungi kota Khurasan untuk berguru hadits
kepada Yahya ibn Yahya dan Ishaq ibn Rahawaih, didatanginya kota Rey untuk
belajar hadits pada Muhammad ibn Mahran, Abu Mas’ad dan di Mesir beliau berguru
kepada Amir ibn Sawad, Harmalah ibn Yahya dan kepada ulama hadis yang lain.
Selain yang disebutkan diatas masih
banyak ulama hadits yang menjadi gurunya, seperti Qatadah ibn Sa’id,
al-Qa’naby, Ismail Ibn Abi Muhammad ibn al-Muksanna, Muhammad ibn rumbi dan
lain-lainnya. Ulama-ulama besar, ulama-ulama yang sederajat dengan beliau dan
para hafidh, banyak yang berguru hadits kepada beliau, seperti Abu Halim, Musa
ibn Haram, Abu Isa al-Tirmidzi, Yahya ibn Sa’id, Ibnu Khuzaimah, dan Awawanah,
Ahmad ibn al-Mubarak dan lain sebagainya.
Karya-karya Imam Muslim antara lain
:
1.
Shahih muslim yang judul aslinya, al-Musnad al-Shahih, al-Mukhtashar min
al-Sunan bi Naql al-Adl’an Rasulullah. Telah diakui oleh jumhur ulama, bahwa
shahih Bukhari adalah sesahih-sahih kitab hadis dan sebesar-besar pemberi
faidah, sedang shahih muslim adalah secermat-cermat isnadnya dan
berkurang-kurang perulangannya, sebab sebuah hadits yang telah beliau letakakan
pada suatu maudhu, tidak lagi ditaruh di maudhu lain. Jadi kitab shahih ini
berada satu tingkat dibawahi sahih Bukhari.
2.
Al-Musnad Al-Kabir. Kitab yang menerangkan tentang nama-nama Rijal Al-Hadits.
3.
Al-Jami’al-kabir
4.
Kitab I’al wa Kitabu Uhamil Muhadditsin
5.
Kitab Al-Tamyiz
6.
Kitabu man Laisa lahu illa Rawin Wahidun
7.
Kitabu al-Tahbaqat al-Tabi’in
8.
Kitab Muhadlramin
9.
Kitab lainnya adalah : Al-Asma wa al-Kuna, Irfad Al-Syamiyyin, Al-Agran,
Al-Intifa bi Julus al-Shiba, Aulad Al-Sha-habah, al-Tharikh, Hadist Amr ibn
Syu’aib, Rijal’urwah, Sha-lawatuh Ahmad ibn Hanbal, Masyayikh al-Tsauri,
Masyayikh Malik dan Al-Wuhdan.
Imam muslim wafat pada hari ahad
bulan Rajab 261 H dan dikebumikan pada hari senin di Naisabur.
3. BIOGRAFI
IMAM AL TIRMIDZI
Imam Al-Tirmidzi nama lengkapnya
adalah Abu Musa Muhammad Ibn Isa Ibn Saurah Ibn Musa Ibn Adh-Dhahak Al-Sulami
Al-Bughi Al-Tirmidzi Al-Imam Al-Alim Al-Bari’[1]. Al Sulami dibangsakan dengan Bani
Sulaym, dari kabilah ‘Aylan, sedangkan Al Bughi adalah nama desa tempat Al
Imam lahir dan wafat, yaitu di Bugh. Ahmad Muhammad Syakir menambahnya dengan
sebutan Al-Dhahir karena ia mengalami kebutaan di masa tuanya[2]. Imam
Al-Tirmidzi terkenal dengan sebutan Abu Isa , tepi sebagian ulama tidak
menyenangi sebutan itu karena hadis
ان عيس لا اب له
Artinya “sesungguhnya Isa tidak
mempunyai bapak.”
Imam Al-Tirmidzi dilahirkan di tepi
selatan sungai Jihun, Usbekistan, di kota Tirmidz. Para penulis tidak
menyebutkan secara pasti kapan Imam Al-Tirmidzi dilahirkan. Menurut Syaykh
Muhammad ‘Abd Al Hadi Al Sindi Imam Al-Tirmidzi dilahirkan pada tahun 209 H. Al
Shalah Al Safadi menyebutkan bahwa Imam Al-Tirmidzi dilahirkan tahun 200 H. ada
yang mentatakan beliau lahir pada tahun 208 H dan tahun 209 H. kota
tirmiz menurut penduduknya diucapkan dengan bacaan tarmidz .
Sifat-Sifatnya : Para ulama berbeda
pendapat, ada yang mengatakan bahwa Imam At-Tirmidzi lahir dalam keadaan buta.
Sedangkan berita yang benar adalah dia menjadi buta ketika sudah besar,
tepatnya setelah melakukan perjalanan mencari ilmu dan menulis kitabnya.
Masa Belajar, Guru – Guru, dan Murid
– Muridnya
Perkembangan hadits itu di tandai
dengan penulisan, penyampaian penerimaan, penghafalan, dan majlis ta’lim
pengkajian hadits, penciptaan ilmu hadits, periwayatan, dan pembukuannya.
Kajian pengembangan hadits itu sebagian telah diikuti oleh Imam Al-Tirmidzi
sebagian besar telah dilakukannya dan berperan aktif, mulai dari menulis,
menghafal, menyampaikan, menerima, menghadiri dan mengadakan majlis ta’lim,
menggambarkan ilmu hadits,meriwayatkan dan sampai dengan pembukuan.
Sebagai mana ulama hadits lain Imam
Al-Tirmidzi sejak kecil sudah bergelut dengan hadits, Semangatnya dalam belajar
hadits membuatnya melalangbuana ke berbagai negeri untuk berguru kepada ulama
ahli hadits terkemuka. Imam Al-Tirmidzi pernah ke Hijaz dan belajar dengan
ulama Hijaz Iraq, Khurasan belajar dan menuntut ilmu dari Ishaq Ibn Rahawayh,
dan sebagainya. Menurut Al Khatib Al Baghdadi Qutaibah Ibn Sa’id Al-Madani lama
Imam Al-Tirmidzi belajar hadits diperkirakan lebih dari 35 tahun.[5]
Diantara guru Imam Al-Tirmidzi
adalah :
1. Al
Bukhari
2.
Imam Muslim
3. Abu
Daud
4.
Qutaibah Bin Sa’id
5.
Ishaq Bin Musa
6.
Mahmud Bin Ghailan
7. Ibn
Bandar
8.
ismail bin Musa Al-Fazari
9.
Ahmad bin Muni’
10. Abu Mush’ab Az-Zuhri
11. Bisyr bin Muazd Al-Aqadi
12. Al-Hasan bin Ahmad Bin Abi
Syuaib
13. Abu Amar Al-Husain bin
Huraits[6]
Diantara
orang – orang yang pernah berguru ( murid ) kepada beliau adalah :
1.
Makhlul Bin Fadlal
2.
Muhammad Bin Mahmud Anbar
3.
Hammad Bin Syakir
4.
Abdul Bin Muhammad An-Nasyifun
5. Al
Haisam Bin Kulaib Asy- Syasyi
6. Abu
Bakar Ahmad Ibn Ismail Ibn Amir Al Samarkandi
7.
Ahmad Bin Ali Al Maqari
As-Dzahabi berkata : Murid-murid At-Tirmdzi Antara lain
adalah ;
1.
Abu-bakar bin Ismail Samarkandi
2.
Abu-Hamid Ahmad bin Abdillah bin Daud Al Marwazi
3.
Ahmad bin Ali bin Hasnawaih Al-Mukqri’
4.
Ahmad bin Yusuf An Nasafi
5.
Ashad bin Hamdawiyah Annafi
6.
Al Husain yusuf Al-Farbari
7.
Hammad bin Syakir Al Warq
8.
Daud bin Nashr bin Suhail Al-Bazdawi[7]
Penghargaan Ulama Terhadap Imam Al
Tilrmidzi
Perhatian beliau sangat besar
terhadan ilmu hadits sangat besar beliau menyusun kitab At Turmudzi. Selain itu
hasil-hasil karya beliau sangat banyak. Sehingga pujian para ulama
terhadap Imam Al-Tirmidzi dalam usahanya mengembangkan hadits dan fiqih
dan ilmu-ilmu agama sangat banyak, diantaranya adalah :
1.
Pernyataan Imam Bukhari terhadap Imam At Turmudzi bahwa kedudukan beliau dalam
ilmu hadits adalah sangat tinggi. Imam Bukhari berkata “ Apa yang aku ambil
manfaat dari padaku.[8]
2. Al
Hafizh Al Alim Al Idrisi berkata “ ia (Imam Al-Tirmidzi) seorang dari para imam
yang memberi tuntunan kepada mereka dalam ilmu hadits, mengarang Al Jami’
Tarikh, sebagai seorang penulis yang alim yang meyakinkan, ia seorang contoh
dalam hafalan”
3. Al
Mizzi mengatakan bahwa Imam Al-Tirmidzi salah seorang imam hafizh yang
mempunyai kelebihan yang telah dimanfaatkan kaum muslimin.
4.
Mubarak Ibn Atsir mengatakan bahwa Imam Al-Tirmidzi adalah seorang ulama hafizh
yang terkenal, padanya telah terjadi pembangunan fiqih.
5.
Imam Al-Tirmidzi termasuk ahli hadits yang kuat daya hafalnya, teliti serta
terpercaya. Ibnu Hibban Al Busti mengakui kemampuan Imam Al-Tirmidzi dalam hal
menghafal, menghimpun, dan meneliti hadits sehingga ia menjadi sumber
pengambilan hadit banyak ulama terkenal diantaranya imam bukhari[9]
Hasil Karya Imam Al Tirmidzi
Imam Al-Tirmidzi adalah sorang
penulis yang terkenal Diantara karya-karya Imam Al-Tirmidzi adalah :
1. Al Jami’ yang
terkenal dengan Sunan Imam Al-Tirmidzi yang menghimpun 3.956 buah hadits. [10]
di
dalam kitab Sunan atau Al Jami’ At-Tirmidsi, ia mengklasifikasikan kualitas
hadits menjadi shahiah, hasan, dan da’if. Buku inilah yang menjadi sumber utama
hadits hasan[11].
Kitab
ini mempunyai ciri khas yaitu adanya pembahasan tentang rijal hadits dan isnad,
adanya penyampaian pendapat imam mazhab dan diantaranya dilengkapi dengan
penjelasannya, Imam Al-Tirmidzi juga menjelaskan perselisihan pendapat mazhab
kemuadian mencoba memilihnya dengan menggunakan dasar hadits yang dikuasainya.
2. Al-‘Illat
3. Asy Syama’il Wa
Al Kuna
4. At-Tarikh
5. Az-Zuhud
Contoh
Hadits
Contoh
hadits yang diriwayat oleh Imam Al-Tirmidzi adalah :
وخلفه
في بعض مغا زيه فقا له علي يا ر سول الله تخلفني مع النساء والصبيا فقا ل رسو
ل الله صلي الله عليه وسلم : ا ما تر ضي ان تكون مني بمنز لة هارون من موس
الا انه لا نبوة بعد ى.
Artinya
: “Dan meninggalkan Nabi Muhammad Saw. Akan ia(Saidina ‘Ali Kw) di salah satu
perperangan, maka berkata ‘Ali kepada Nabi : kenapakah tuan tinggalkan saya di
kampong bersama wanita dan anak-anak ?
Nabi menjawab : Hai ‘Ali,
apakah engkau tidak suka bahwa engkau sama dengan Nabi Harun di banding Nabi
Musa ? tetapi awas! Nabi dan kenabian tidak ada lagi sesudah aku.”
(Sahih Tirmidzi, jilid XIII, pagina 171)
Keterangan
: Hadits ini mengisahkan ketika nabi hendak pergi ke perperangan
Tabuk pada tahun 9 hijriyah, yang mana ketika itu beliau meninggalkan Saidina
‘Ali di madinah untuk menjaga ahli family Nabi.
Saidina
‘Ali Kw. Agak marah karena tidak pantas seorang pahlawan yang gagah berani
seperti Ia di tinggalkan hanya untuk menjaga wanita dan anak-anak, yang dapat
di kerjakan oleh orang-orang lemah dan tidak kuat.
Nabi
mengatakan kepada Saidina ‘Ali,sebagai pembujuknya, bahwa derajatnya sama
dengan Nabi Harun disbanding Nabi Musa, karena Nabi Harun di tinggalkan oleh
Nabi Musa di kampong ketika beliau pergi munajat ke bukit Thursina.
Tetapi
menegaskan kesamaannya dengan nabi Harun bukanlah dalam kenabian, karena Nabi
dan kenabian tidak ada lagi sesudah Nabi Muhammad Saw.
Dari
hadits ini dapat dapat dipetik hukum-hukum yaitu :
1.
Nabi tidak ada lagi sesudah Nabi Muhammad Saw.
2.
Nabi dan kenabian tidak lagi.
3.
Faham yang mengatakan bahwa Mirza Gulam Ahmad di Anggap Nabi, adalah salah dan
sesat, menentang hadits ini.
4.
Faham dari sebagian kaum Syi’ah yang mengatakan bahwa Saidina ‘Ali sebagai Imam
mereka masih menerima wahyu dari tuhan adalah faham yang salah pula.
Wafat Imam al Tirmidzi
Imam Al-Tirmidzi wafat pada tahun
279 H dalam usia 70 tahun. Beliau wafat pada bulan Rajab tanggal 13 tahun 279
malam hari senin. Beliau meninggal di desa al Bugh dan dimakankan di sana. Ada
pula pendapat yang menyatakan bahwa beliau wafat tahun 277 H dalam usia 68
tahun.
Namun ada yang mengatakan bahwa Imam
Al-Tirmidzi lahir dan wafat di kota tirmidz. Hal itu tidaklah salah, karena
bigh dan tirmdz itu berdekatan dan bugh merupakan sebagian dari kota tirmidz.
penjelas
Imam Al-Tirmidzi nama lengkapnya
adalah abu musa Muhammad ibn isa ibn tsawrah ibn musa ibn al-dhahak al-sulami
al-bughi al-tirmidzi. Dilahirkan di kota tirmiz tahun 209 dan wafat tahun 279
H.
Diantara guru Imam Al-Tirmidzi
adalah : Al Bukhari, Imam muslim, abu daud, Qutaibah bin sa’id, Ishaq bin musa,
Mahmud bin ghailan
Diantara
orang – orang yang pernah berguru kepada beliau adalah :
1.
Makhlul bin fadlal
2. Muhammad
bin Mahmud anbar
3.
Hammad bin syakir
4.
Abdul bin Muhammad an-nasyifun
5. Al
haisam bin kulaib asy- syasyi
Imam Al-Tirmidzi adalah sorang
penulis yang terkenal Diantara karya-karya Imam Al-Tirmidzi adalah :
1. Al
Jami’ yang terkenal dengan sunan Imam Al-Tirmidziyang menghimpun 3.956 buah
hadits.
2.
Al-‘Illat
3. Asy
syama’il wa al kuna
4.
At-Tarikh
5.
Az-Zuhud
4. BIOGRAFI IMAM ABU DAWUD
Nama lengkap Abu Dawud ialah Sulaiman bin al-Asy’as bin
Ishak bin Basyir bin Syidad bin Amar al-Azdi as-Sijistani.Beliau adalah Imam
dan tokoh ahli hadits, serta pengarang kitab sunan. Beliau dilahirkan tahun 202
H. di Sijistan.
Sejak kecil Abu Dawud sangat mencintai ilmu dan sudah
bergaul dengan para ulama untuk menimba ilmunya. Sebelum dewasa, dia sudah
mempersiapkan diri untuk melanglang ke berbagai negeri. Dia belajar hadits dari
para ulama yang ditemuinya di Hijaz, Syam, Mesir, Irak, Jazirah, Sagar,
Khurasan dan negeri lainnya. Pengemba-raannya ke beberapa negeri itu menunjang
dia untuk mendapatkan hadits sebanyak-banyaknya. Kemudian hadits itu disaring,
lalu ditulis pada kitab Sunan. Abu Dawud sudah berulang kali mengunjungi
Bagdad. Di kota itu, dia me-ngajar hadits dan fiqih dengan menggunakan kitab
sunan sebagai buku pe-gangan. Kitab sunan itu ditunjukkan kepada ulama hadits
terkemuka, Ahmad bin Hanbal. Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa kitab itu
sangat bagus.
Guru-gurunya
Jumlah guru Imam Abu Dawud sangat banyak. Di antara gurunya
yang paling menonjol antara lain: Ahmad bin Hanbal, al-Qan’abi, Abu Amar
ad-Darir, Muslim bin Ibrahim, Abdullah bin raja’, Abdul Walid at-Tayalisi dan
lain--lain. Sebagian gurunya ada yang menjadi guru Bukhari dan Muslim, seperti
Ahmad bin Hanbal, Usman bin Abu Syaibah dan Qutaibah bin sa’id.
Murid-muridnya
Ulama yang pernah menjadi muridnya dan yang meriwayatkan
hadits-nya antara lain Abu Isa at-Tirmizi, Abu Abdur Rahman an-Nasa’i, putranya
sendiri Abu Bakar bin Abu Dawud, Abu Awana, Abu Sa’id aI-Arabi, Abu Ali
al-Lu’lu’i, Abu Bakar bin Dassah, Abu Salim Muhammad bin Sa’id al-Jaldawi dan
lain-lain.
Sifat dan kepribadiannya
Abu Dawud termasuk ulama yang mencapai derajat tinggi dalam
beribadah, kesucian diri, kesalihan dan wara’ yang patut diteladani.
Sebagian ulama berkata: "Perilaku Abu Dawud, sifat dan
kepribadiannya menyerupai Imam Ahmad bin Hanbal. Imam
Ahmad bin Hanbal menyerupai Waki’, Waki’ seperti
Sufyan as-Sauri, Sufyan seperti Mansur, Mansur menyerupai Ibrahim an-Nakha’i,
Ibrahim menyerupai Alqamah. "Alqamah seperti Ibnu Mas’ud, dan Ibnu Mas’ud
seperti Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam. Sifat dan
kepribadian seperti ini menunjukkan kesempurnaan beragama, prilaku dan akhlak
Abu Dawud.Abu Dawud mempunyai falsafah tersendiri dalam berpakaian. Salah satu
lengan bajunya lebar dan satunya lagi sempit. Bila ada yang bertanya, dia
menjawab: "Lengan yang lebar ini untuk membawa kitab, sedang yang satunya
tidak diperlukan. Kalau dia lebar, berarti pemborosan."
Ulama memuji Abu Dawud
Abu Dawud adalah seorang tokoh ahli hadits yang menghafal
dan memahami hadits beserta illatnya. Dia mendapatkan kehormatan dari para
ulama, terutama dari gurunya, Imam Ahmad bin Hanbal.
Al-Hafiz Musa bin Harun berkata: "Abu Dawud
diciptakan di dunia untuk Hadits, dan di akhirat untuk surga. Aku tidak pernah
melihat orang yang lebih utama dari dia."
Sahal bin Abdullah at-Tastari, seorang sufi yang alim
mengunjungi Abu Dawud dan berkata: "Saya adalah Sahal, datang untuk
mengunjungimu." Abu Dawud menyambutnya dengan hormat dan mempersilakan
duduk. Lalu Sahal berkata: "Abu Dawud, saya ada keperluan." Dia
bertanya: "Keperluan apa?" Sahal menjawab: "Nanti saya katakan,
asalkan engkau berjanji memenuhi permintaanku." Abu Dawud menjawab:
"Jika aku mampu pasti kuturuti." Lalu Sahal mengatakan:
"Julurkanlah lidahmu yang engkau gunakan meriwayatkan hadits dari
Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam sehingga aku dapat menciumnya" Lalu
Abu Dawud menjulurkan lidahnya kemudian dicium Sahal.
Ketika Abu Dawud menyusun kitab sunan, Ibrahim
al-Harbi, seorang Ulama hadits, berkata: "Hadits telah dilunakkan bagi Abu
Dawud, sebagai-mana besi dilunakkan untuk Nabi Dawud." Ungkapan itu adalah
perumpama-an bagi keistimewaan seorang ahli hadits. Dia telah mempermudah yang
rumit dan mendekatkan yang jauh, serta memudahkan yang sukar.
Seorang Ulama hadits dan fiqih terkemuka yang bermazhab
Hanbali, Abu Bakar al-Khallal, berkata: "Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’as
as-Sijistani adalah Imam terkemuka pada jamannya, penggali beberapa bidang ilmu
sekaligus mengetahui tempatnya, dan tak seorang pun di masanya dapat
me-nandinginya.
Abu Bakar al-Asbihani dan Abu Bakar bin Sadaqah selalu
menyanjung Abu Dawud, dan mereka memujinya yang belum pernah diberikan kepada
siapa pun di masanya.Mazhab yang diikuti Abu Dawud
Syaikh Abu Ishaq as-Syairazi dalam Tabaqatul Fuqaha
menggolong-kan Abu Dawud sebagai murid Imam Ahmad bin Hanbal. Begitu pula Qadi
Abdul Husain Muhammad bin Qadi Abu Ya’la (wafat tahun 526 H.) yang termaktub
dalam kitab Tabaqatul Hanabilah. Penilaian ini disebabkan, Imam Ahmad adalah
guru Abu Dawud yang istimewa. Ada yang mengatakan bahwa dia bermazhab Syafi’i.
Memuliakan ilmu dan ulama
Sikap Abu Dawud yang memuliakan ilmu dan ulama ini dapat
diketahui dari kisah yang diceritakan oleh Imam al-Khattabi dari Abu Bakar bin
Jabir, pembantu Abu Dawud. Dia berkata: "Aku bersama Abu Dawud tinggal di
Bagdad. Di suatu saat, ketika kami usai melakukan shalat magrib, tiba-tiba
pintu rumah diketuk orang, lalu kubuka pintu dan seorang pelayan melaporkan
bahwa Amir Abu Ahmad al-Muwaffaq minta ijin untuk masuk. Kemudian aku
memberitahu Abu Dawud dan ia pun mengijinkan, lalu Amir duduk. Kemudian Abu
Dawud bertanya: "Apa yang mendorong Amir ke sini?" Amir pun menjawab
"Ada tiga kepentingan". "Kepentingan apa?" Tanya Abu Dawud.
Amir mengatakan: "Sebaiknya anda tinggal di Basrah, supaya para pelajar
dari seluruh dunia belajar kepadamu. Dengan demikian kota Basrah akan makmur
lagi. Karena Basrah telah hancur dan ditinggalkan orang akibat tragedi
Zenji."
Abu Dawud berkata: "itu yang pertama, lalu apa yang
kedua?" Amir menjawab: "Hendaknya anda mau mengajarkan sunan kepada
anak-anakku." "Yang ketiga?" tanya Abu Dawud. "Hendaklah
anda membuat majlis tersendiri untuk mengajarkan hadits kepada keluarga
khalifah, sebab mereka enggan duduk bersama orang umum." Abu Dawud
menjawab: "Permintaan ketiga tidak bisa kukabulkan. Sebab derajat manusia
itu, baik pejabat terhormat maupun rakyat jelata, dalam menuntut ilmu dipandang
sama." Ibnu Jabir menjelaskan: "Sejak itu putra-putra khalifah
menghadiri majlis taklim, duduk bersama orang umum, dengan diberi tirai
pemisah".
Begitulah seharusnya, ulama tidak mendatangi raja atau
penguasa, tetapi merekalah yang harus mengunjungi ulama. Itulah kesamaan
derajat dalam mencari ilmu pengetahuan.
Wafatnya
Setelah hidup penuh dengan kegiatan ilmu, mengumpulkan dan
menyebarluaskan hadits, Abu Dawud wafat di Basrah, tempat tinggal atas
per-mintaan Amir sebagaimana yang telah diceritakan. la wafat tanggal 16 Syawal
275 H. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan ridanya kepada-nya.
Putra Abu Dawud
Imam Abu Dawud meninggalkan seorang putra bernama Abu Bakar
Abdullah bin Abu Dawud. Dia adalah seorang Imam hadits putra seorang imam
hadits pula. Dilahirkan tahun 230 H. dan wafat tahun 316 H.
Kitab karangan Abu Dawud
Abu Dawud mempunyai karangan yang banyak, antara lain:
1. Kitab as-Sunan
2. Kitab al-Marasil
3. Kitab al-Qadar
4. An-Nasikh Wal Mansukh
5. Fada’ilul A’mal
6. Kitab az-Zuhud
7. Dalailun Nubuwah
8. Ibtida’ul Wahyu
9. Ahbarul Khawarij
Di antara kitab tersebut, yang paling populer adalah kitab
as-Sunan, yang biasa dikenal dengan Sunan Abu Dawud.
5.
BIOGRAFI
IMAM AL NASA’I
Nama lengkap Imam al-Nasa’i adalah
Abu Abd al-Rahman Ahmad bin Ali bin Syuaib bin Ali bin Sinan bin Bahr
al-khurasani al-Qadi. Lahir di daerah Nasa’ pada tahun 215 H. Ada juga
sementara ulama yang mengatakan bahwa beliau lahir pada tahun 214 H. Beliau
dinisbahkan kepada daerah Nasa’ (al-Nasa’i), daerah yang menjadi saksi bisu
kelahiran seorang ahli hadis kaliber dunia. Beliau berhasil menyusun sebuah
kitab monumental dalam kajian hadis, yakni al-Mujtaba’ yang di kemudian hari
kondang dengan sebutan Sunan al-Nasa’i.
Pengembaraan Intelektual
Pada awalnya, beliau tumbuh dan berkembang di daerah Nasa’. Beliau berhasil menghafal al-Qur’an di Madrasah yang ada di desa kelahirannya. Beliau juga banyak menyerap berbagai disiplin ilmu keagamaan dari para ulama di daerahnya. Saat remaja, seiring dengan peningkatan kapasitas intelektualnya, beliaupun mulai gemar melakukan lawatan ilmiah ke berbagai penjuru dunia. Apalagi kalau bukan untuk guna memburu ilmu-ilmu keagamaan, terutama disiplin hadis dan ilmu Hadis.
Belum genap usia 15 tahun, beliau sudah melakukan mengembar ke berbagai wilayah Islam, seperti Mesir, Hijaz, Iraq, Syam, Khurasan, dan lain sebagainya. Sebenarnya, lawatan intelektual yang demikian, bahkan dilakukan pada usia dini, bukan merupakan hal yang aneh dikalangan para Imam Hadis. Semua imam hadis, terutama enam imam hadis, yang biografinya banyak kita ketahui, sudah gemar melakukan perlawatan ilmiah ke berbagai wilayah Islam semenjak usia dini. Dan itu merupakan ciri khas ulama-ulama hadis, termasuk Imam al-Nasa’i.
Kemampuan intelektual Imam al-Nasa’i menjadi kian matang dan berisi dalam masa pengembaraannya. Namun demikian, awal proses pembelajarannya di daerah Nasa’ tidak bisa dikesampingkan begitu saja, karena justru di daerah inilah, beliau mengalami proses pembentukan intelektual, sementara masa pengembaraannya dinilai sebagai proses pematangan dan perluasan pengetahuan.
Guru dan murid
Seperti para pendahulunya: Imam al-Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, dan Imam al-Tirmidzi, Imam al-Nasa’i juga tercatat mempunyai banyak pengajar dan murid. Para guru beliau yang nama harumnya tercatat oleh pena sejarah antara lain; Qutaibah bin Sa’id, Ishaq bin Ibrahim, Ishaq bin Rahawaih, al-Harits bin Miskin, Ali bin Kasyram, Imam Abu Dawud (penyusun Sunan Abi Dawud), serta Imam Abu Isa al-Tirmidzi (penyusun al-Jami’/Sunan al-Tirmidzi).
Sementara murid-murid yang setia mendengarkan fatwa-fatwa dan ceramah-ceramah beliau, antara lain; Abu al-Qasim al-Thabarani (pengarang tiga buku kitab Mu’jam), Abu Ja’far al-Thahawi, al-Hasan bin al-Khadir al-Suyuti, Muhammad bin Muawiyah bin al-Ahmar al-Andalusi, Abu Nashr al-Dalaby, dan Abu Bakrbin Ahmad al-Sunni. Nama yang disebut terakhir, disamping sebagai murid juga tercatat sebagai “penyambung lidah” Imam al-Nasa’i dalam meriwayatkan kitab Sunan al-Nasa’i.
Sudah mafhum dikalangan peminat kajian hadis dan ilmu hadis, para imam hadis merupakan sosok yang memiliki ketekunan dan keuletan yang patut diteladani. Dalam masa ketekunannya inilah, para imam hadis kerap kali menghasilkan karya tulis yang tak terhingga nilainya.
Tidak ketinggalan pula Imam al-Nasa’i. Karangan-karangan beliau yang sampai kepada kita dan telah diabadikan oleh pena sejarah antara lain; al-Sunan al-Kubra, al-Sunan al-Sughra (kitab ini merupakan bentuk perampingan dari kitab al-Sunan al-Kubra), al-Khashais, Fadhail al-Shahabah, dan al-Manasik. Menurut sebuah keterangan yang diberikan oleh Imam Ibn al-Atsir al-Jazairi dalam kitabnya Jami al-Ushul, kitab ini disusun berdasarkan pandangan-pandangan fiqh mazhab Syafi’i.
Kitab al-Mujtaba
Sekarang, karangan Imam al-Nasa’i paling monumental adalah Sunan al-Nasa’i. Sebenarnya, bila ditelusuri secara seksama, terlihat bahwa penamaan karya monumental beliau sehingga menjadi Sunan al-Nasa’i sebagaimana yang kita kenal sekarang, melalui proses panjang, dari al-Sunan al-Kubra, al-Sunan al-Sughra, al-Mujtaba, dan terakhir terkenal dengan sebutan Sunan al-Nasa’i.
Untuk pertama kali, sebelum disebut dengan Sunan al-Nasa’i, kitab ini dikenal dengan al-Sunan al-Kubra. Setelah tuntas menulis kitab ini, beliau kemudian menghadiahkan kitab ini kepada Amir Ramlah (Walikota Ramlah) sebagai tanda penghormatan. Amir kemudian bertanya kepada al-Nasa’i, “Apakah kitab ini seluruhnya berisi hadis shahih?” Beliau menjawab dengan kejujuran, “Ada yang shahih, hasan, dan adapula yang hampir serupa dengannya”.
Kemudian Amir berkata kembali, “Kalau demikian halnya, maka pisahkanlah hadis yang shahih-shahih saja”. Atas permintaan Amir ini, beliau kemudian menyeleksi dengan ketat semua hadis yang telah tertuang dalam kitab al-Sunan al-Kubra. Dan akhirnya beliau berhasil melakukan perampingan terhadap al-Sunan al-Kubra, sehingga menjadi al-Sunan al-Sughra. Dari segi penamaan saja, sudah bisa dinilai bahwa kitab yang kedua merupakan bentuk perampingan dari kitab yang pertama.
Imam al-Nasa’i sangat teliti dalam menyeleksi hadis-hadis yang termuat dalam kitab pertama. Oleh karenanya, banyak ulama berkomentar “Kedudukan kitab al-Sunan al-Sughra dibawah derajat Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Di dua kitab terakhir, sedikit sekali hadis dhaif yang terdapat di dalamnya”. Nah, karena hadis-hadis yang termuat di dalam kitab kedua (al-Sunan al-Sughra) merupakan hadis-hadis pilihan yang telah diseleksi dengan super ketat, maka kitab ini juga dinamakan al-Mujtaba. Pengertian al-Mujtaba bersinonim dengan al-Maukhtar (yang terpilih), karena memang kitab ini berisi hadis-hadis pilihan, hadis-hadis hasil seleksi dari kitab al-Sunan al-Kubra.
Disamping al-Mujtaba, dalam salah satu riwayat, kitab ini juga dinamakan dengan al-Mujtana. Pada masanya, kitab ini terkenal dengan sebutan al-Mujtaba, sehingga nama al-Sunan al-Sughra seperti tenggelam ditelan keharuman nama al-Mujtaba. Dari al-Mujtaba inilah kemudian kitab ini kondang dengan sebutan Sunan al-Nasa’i, sebagaimana kita kenal sekarang. Dan nampaknya untuk selanjutnya, kitab ini tidak akan mengalami perubahan nama seperti yang terjadi sebelumnya.
Kritik Ibn al-Jauzy
Kita perlu menilai jawaban Imam al-Nasa’i terhadap pertanyaan Amir Ramlah secara kritis, dimana beliau mengatakan dengan sejujurnya bahwa hadis-hadis yang tertuang dalam kitabnya tidak semuanya shahih, tapi adapula yang hasan, dan ada pula yang menyerupainya. Beliau tidak mengatakan bahwa didalamnya terdapat hadis dhaif (lemah) atau maudhu (palsu). Ini artinya beliau tidak pernah memasukkan sebuah hadispun yang dinilai sebagai hadis dhaif atau maudhu’, minimal menurut pandangan beliau.
Apabila setelah hadis-hadis yang ada di dalam kitab pertama diseleksi dengan teliti, sesuai permintaan Amir Ramlah supaya beliau hanya menuliskan hadis yang berkualitas shahih semata. Dari sini bisa diambil kesimpulan, apabila hadis hasan saja tidak dimasukkan kedalam kitabnya, hadis yang berkualitas dhaif dan maudhu’ tentu lebih tidak berhak untuk disandingkan dengan hadis-hadis shahih.
Namun demikian, Ibn al-Jauzy pengarang kitab al Maudhuat (hadis-hadis palsu), mengatakan bahwa hadis-hadis yang ada di dalam kitab al-Sunan al-Sughra tidak semuanya berkualitas shahih, namun ada yang maudhu’ (palsu). Ibn al-Jauzy menemukan sepuluh hadis maudhu’ di dalamnya, sehingga memunculkan kritik tajam terhadap kredibilitas al-Sunan al-Sughra. Seperti yang telah disinggung dimuka, hadis itu semua shahih menurut Imam al-Nasa’i. Adapun orang belakangan menilai hadis tersebut ada yang maudhu’, itu merupakan pandangan subyektivitas penilai. Dan masing-masing orang mempunyai kaidah-kaidah mandiri dalam menilai kualitas sebuah hadis. Demikian pula kaidah yang ditawarkan Imam al-Nasa’i dalam menilai keshahihan sebuah hadis, nampaknya berbeda dengan kaidah yang diterapkan oleh Ibn al-Jauzy. Sehingga dari sini akan memunculkan pandangan yang berbeda, dan itu sesuatu yang wajar terjadi. Sudut pandang yang berbeda akan menimbulkan kesimpulan yang berbeda pula.
Kritikan pedas Ibn al-Jauzy terhadap keautentikan karya monumental Imam al-Nasa’i ini, nampaknya mendapatkan bantahan yang cukup keras pula dari pakar hadis abad ke-9, yakni Imam Jalal al-Din al-Suyuti, dalam Sunan al-Nasa’i, memang terdapat hadis yang shahih, hasan, dan dhaif. Hanya saja jumlahnya relatif sedikit. Imam al-Suyuti tidak sampai menghasilkan kesimpulan bahwa ada hadis maudhu’ yang termuat dalam Sunan al-Nasa’i, sebagaimana kesimpulan yang dimunculkan oleh Imam Ibn al-Jauzy. Adapun pendapat ulama yang mengatakan bahwah hadis yang ada di dalam kitab Sunan al-Nasa’i semuanya berkualitas shahih, ini merupakan pandangan yang menurut Muhammad Abu Syahbah_tidak didukung oleh penelitian mendalam dan jeli. Kecuali maksud pernyataan itu bahwa mayoritas (sebagian besar) isi kitab Sunan al-Nasa’i berkualitas shahih.
Komentar Ulama
Imam al-Nasa’i merupakan figur yang cermat dan teliti dalam meneliti dan menyeleksi para periwayat hadis. Beliau juga telah menetapkan syarat-syarat tertentu dalam proses penyeleksian hadis-hadis yang diterimanya. Abu Ali al-Naisapuri pernah mengatakan, “Orang yang meriwayatkan hadis kepada kami adalah seorang imam hadis yang telah diakui oleh para ulama, ia bernama Abu Abd al Rahman al-Nasa’i.”
Lebih jauh lagi Imam al-Naisapuri mengatakan, “Syarat-syarat yang ditetapkan al-Nasa’i dalam menilai para periwayat hadis lebih ketat dan keras ketimbang syarat-syarat yang digunakan Muslim bin al-Hajjaj.” Ini merupakan komentar subyektif Imam al-Naisapuri terhadap pribadi al-Nasa’i yang berbeda dengan komentar ulama pada umumnya. Ulama pada umumnya lebih mengunggulkan keketatan penilaian Imam Muslim bin al-Hajjaj ketimbang al-Nasa’i. Bahkan komentar mayoritas ulama ini pulalah yang memposisikan Imam Muslim sebagai pakar hadis nomer dua, sesudah al-Bukhari.
Namun demikian, bukan berarti mayoritas ulama merendahkan kredibilitas Imam al-Nasa’i. Imam al-Nasa’i tidak hanya ahli dalam bidang hadis dan ilmu hadis, namun juga mumpuni dalam bidang figh. Al-Daruquthni pernah mengatakan, beliau adalah salah seorang Syaikh di Mesir yang paling ahli dalam bidang figh pada masanya dan paling mengetahui tentang Hadis dan para rawi. Al-Hakim Abu Abdullah berkata, “Pendapat-pendapat Abu Abd al-Rahman mengenai fiqh yang diambil dari hadis terlampau banyak untuk dapat kita kemukakan seluruhnya. Siapa yang menelaah dan mengkaji kitab Sunan al-Nasa’i, ia akan terpesona dengan keindahan dan kebagusan kata-katanya.”
Tidak ditemukan riwayat yang jelas tentang afiliansi pandangan fiqh beliau, kecuali komentar singkat Imam Madzhab Syafi’i. Pandangan Ibn al-Atsir ini dapat dimengerti dan difahami, karena memang Imam al-Nasa’i lama bermukim di Mesir, bahkan merasa cocok tinggal di sana. Beliau baru berhijrah dari Mesir ke Damsyik setahun menjelang kewafatannya.
Karena Imam al-Nasa’i cukup lama tinggal di Mesir, sementara Imam al-Syafi’i juga lama menyebarkan pandangan-pandangan fiqhnya di Mesir (setelah kepindahannya dari Bagdad), maka walaupun antara keduanya tidak pernah bertemu, karena al-Nasa’i baru lahir sebelas tahun setelah kewafatan Imam al-Syafi’i, tidak menutup kemungkinan banyak pandangan-pandangan fiqh Madzhab Syafi’i yang beliau serap melalui murid-murid Imam al-Syafi’i yang tinggal di Mesir. Pandangan fiqh Imam al-Syafi’i lebih tersebar di Mesir ketimbang di Baghdad. Hal ini lebih membuka peluang bagi Imam al-Nasa’i untuk bersinggungan dengan pandangan fiqh Syafi’i. Dan ini akan menguatkan dugaan Ibn al-Atsir tentang afiliasi mazhab fiqh al-Nasa’i.
Pandangan Syafi’i di Mesir ini kemudian dikenal dengan qaul jadid (pandangan baru). Dan ini seandainya dugaan Ibn al-Atsir benar, mengindikasikan bahwa pandangan fiqh Syafi’i dan al-Nasa’i lebih didominasi pandangan baru (Qaul Jadid, Mesir) ketimbang pandangan klasik (Qaul Qadim, Baghdad).
Namun demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa Imam al-Nasa’i merupakan sosok yang berpandangan netral, tidak memihak salah satu pandangan mazhab fiqh manapun, termasuk pandangan Imam al-Syafi’i. Hal ini seringkali terjadi pada imam-imam hadis sebelum al-Nasa’i, yang hanya berafiliasi pada mazhab hadis. Dan independensi pandangan ini merupakan ciri khas imam-imam hadis. Oleh karena itu, untuk mengklaim pandangan Imam al-Nasa’i telah terkontaminasi oleh pandangan orang lain, kita perlu menelusuri sumber sejarah yang konkrit, bukannya hanya berdasarkan dugaan.
Tutup Usia
Setahun menjelang kemangkatannya, beliau pindah dari Mesir ke Damsyik. Dan tampaknya tidak ada konsensus ulama tentang tempat meninggal beliau. Al-Daruqutni mengatakan, beliau di Makkah dan dikebumikan diantara Shafa dan Marwah. Pendapat yang senada dikemukakan oleh Abdullah bin Mandah dari Hamzah al-’Uqbi al-Mishri.
Sementara ulama yang lain, seperti Imam al-Dzahabi, menolak pendapat tersebut. Ia mengatakan, Imam al-Nasa’i meninggal di Ramlah, suatu daerah di Palestina. Pendapat ini didukung oleh Ibn Yunus, Abu Ja’far al-Thahawi (murid al-Nasa’i) dan Abu Bakar al-Naqatah. Menurut pandangan terakhir ini, Imam al-Nasa’i meninggal pada tahun 303 H dan dikebumikan di Bait al-Maqdis, Palestina. Inna lillah wa Inna Ilai Rajiun. Semoga jerih payahnya dalam mengemban wasiat Rasullullah guna menyebarluaskan hadis mendapatkan balasan yang setimpal di sisi Allah. Amin.
Pengembaraan Intelektual
Pada awalnya, beliau tumbuh dan berkembang di daerah Nasa’. Beliau berhasil menghafal al-Qur’an di Madrasah yang ada di desa kelahirannya. Beliau juga banyak menyerap berbagai disiplin ilmu keagamaan dari para ulama di daerahnya. Saat remaja, seiring dengan peningkatan kapasitas intelektualnya, beliaupun mulai gemar melakukan lawatan ilmiah ke berbagai penjuru dunia. Apalagi kalau bukan untuk guna memburu ilmu-ilmu keagamaan, terutama disiplin hadis dan ilmu Hadis.
Belum genap usia 15 tahun, beliau sudah melakukan mengembar ke berbagai wilayah Islam, seperti Mesir, Hijaz, Iraq, Syam, Khurasan, dan lain sebagainya. Sebenarnya, lawatan intelektual yang demikian, bahkan dilakukan pada usia dini, bukan merupakan hal yang aneh dikalangan para Imam Hadis. Semua imam hadis, terutama enam imam hadis, yang biografinya banyak kita ketahui, sudah gemar melakukan perlawatan ilmiah ke berbagai wilayah Islam semenjak usia dini. Dan itu merupakan ciri khas ulama-ulama hadis, termasuk Imam al-Nasa’i.
Kemampuan intelektual Imam al-Nasa’i menjadi kian matang dan berisi dalam masa pengembaraannya. Namun demikian, awal proses pembelajarannya di daerah Nasa’ tidak bisa dikesampingkan begitu saja, karena justru di daerah inilah, beliau mengalami proses pembentukan intelektual, sementara masa pengembaraannya dinilai sebagai proses pematangan dan perluasan pengetahuan.
Guru dan murid
Seperti para pendahulunya: Imam al-Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, dan Imam al-Tirmidzi, Imam al-Nasa’i juga tercatat mempunyai banyak pengajar dan murid. Para guru beliau yang nama harumnya tercatat oleh pena sejarah antara lain; Qutaibah bin Sa’id, Ishaq bin Ibrahim, Ishaq bin Rahawaih, al-Harits bin Miskin, Ali bin Kasyram, Imam Abu Dawud (penyusun Sunan Abi Dawud), serta Imam Abu Isa al-Tirmidzi (penyusun al-Jami’/Sunan al-Tirmidzi).
Sementara murid-murid yang setia mendengarkan fatwa-fatwa dan ceramah-ceramah beliau, antara lain; Abu al-Qasim al-Thabarani (pengarang tiga buku kitab Mu’jam), Abu Ja’far al-Thahawi, al-Hasan bin al-Khadir al-Suyuti, Muhammad bin Muawiyah bin al-Ahmar al-Andalusi, Abu Nashr al-Dalaby, dan Abu Bakrbin Ahmad al-Sunni. Nama yang disebut terakhir, disamping sebagai murid juga tercatat sebagai “penyambung lidah” Imam al-Nasa’i dalam meriwayatkan kitab Sunan al-Nasa’i.
Sudah mafhum dikalangan peminat kajian hadis dan ilmu hadis, para imam hadis merupakan sosok yang memiliki ketekunan dan keuletan yang patut diteladani. Dalam masa ketekunannya inilah, para imam hadis kerap kali menghasilkan karya tulis yang tak terhingga nilainya.
Tidak ketinggalan pula Imam al-Nasa’i. Karangan-karangan beliau yang sampai kepada kita dan telah diabadikan oleh pena sejarah antara lain; al-Sunan al-Kubra, al-Sunan al-Sughra (kitab ini merupakan bentuk perampingan dari kitab al-Sunan al-Kubra), al-Khashais, Fadhail al-Shahabah, dan al-Manasik. Menurut sebuah keterangan yang diberikan oleh Imam Ibn al-Atsir al-Jazairi dalam kitabnya Jami al-Ushul, kitab ini disusun berdasarkan pandangan-pandangan fiqh mazhab Syafi’i.
Kitab al-Mujtaba
Sekarang, karangan Imam al-Nasa’i paling monumental adalah Sunan al-Nasa’i. Sebenarnya, bila ditelusuri secara seksama, terlihat bahwa penamaan karya monumental beliau sehingga menjadi Sunan al-Nasa’i sebagaimana yang kita kenal sekarang, melalui proses panjang, dari al-Sunan al-Kubra, al-Sunan al-Sughra, al-Mujtaba, dan terakhir terkenal dengan sebutan Sunan al-Nasa’i.
Untuk pertama kali, sebelum disebut dengan Sunan al-Nasa’i, kitab ini dikenal dengan al-Sunan al-Kubra. Setelah tuntas menulis kitab ini, beliau kemudian menghadiahkan kitab ini kepada Amir Ramlah (Walikota Ramlah) sebagai tanda penghormatan. Amir kemudian bertanya kepada al-Nasa’i, “Apakah kitab ini seluruhnya berisi hadis shahih?” Beliau menjawab dengan kejujuran, “Ada yang shahih, hasan, dan adapula yang hampir serupa dengannya”.
Kemudian Amir berkata kembali, “Kalau demikian halnya, maka pisahkanlah hadis yang shahih-shahih saja”. Atas permintaan Amir ini, beliau kemudian menyeleksi dengan ketat semua hadis yang telah tertuang dalam kitab al-Sunan al-Kubra. Dan akhirnya beliau berhasil melakukan perampingan terhadap al-Sunan al-Kubra, sehingga menjadi al-Sunan al-Sughra. Dari segi penamaan saja, sudah bisa dinilai bahwa kitab yang kedua merupakan bentuk perampingan dari kitab yang pertama.
Imam al-Nasa’i sangat teliti dalam menyeleksi hadis-hadis yang termuat dalam kitab pertama. Oleh karenanya, banyak ulama berkomentar “Kedudukan kitab al-Sunan al-Sughra dibawah derajat Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Di dua kitab terakhir, sedikit sekali hadis dhaif yang terdapat di dalamnya”. Nah, karena hadis-hadis yang termuat di dalam kitab kedua (al-Sunan al-Sughra) merupakan hadis-hadis pilihan yang telah diseleksi dengan super ketat, maka kitab ini juga dinamakan al-Mujtaba. Pengertian al-Mujtaba bersinonim dengan al-Maukhtar (yang terpilih), karena memang kitab ini berisi hadis-hadis pilihan, hadis-hadis hasil seleksi dari kitab al-Sunan al-Kubra.
Disamping al-Mujtaba, dalam salah satu riwayat, kitab ini juga dinamakan dengan al-Mujtana. Pada masanya, kitab ini terkenal dengan sebutan al-Mujtaba, sehingga nama al-Sunan al-Sughra seperti tenggelam ditelan keharuman nama al-Mujtaba. Dari al-Mujtaba inilah kemudian kitab ini kondang dengan sebutan Sunan al-Nasa’i, sebagaimana kita kenal sekarang. Dan nampaknya untuk selanjutnya, kitab ini tidak akan mengalami perubahan nama seperti yang terjadi sebelumnya.
Kritik Ibn al-Jauzy
Kita perlu menilai jawaban Imam al-Nasa’i terhadap pertanyaan Amir Ramlah secara kritis, dimana beliau mengatakan dengan sejujurnya bahwa hadis-hadis yang tertuang dalam kitabnya tidak semuanya shahih, tapi adapula yang hasan, dan ada pula yang menyerupainya. Beliau tidak mengatakan bahwa didalamnya terdapat hadis dhaif (lemah) atau maudhu (palsu). Ini artinya beliau tidak pernah memasukkan sebuah hadispun yang dinilai sebagai hadis dhaif atau maudhu’, minimal menurut pandangan beliau.
Apabila setelah hadis-hadis yang ada di dalam kitab pertama diseleksi dengan teliti, sesuai permintaan Amir Ramlah supaya beliau hanya menuliskan hadis yang berkualitas shahih semata. Dari sini bisa diambil kesimpulan, apabila hadis hasan saja tidak dimasukkan kedalam kitabnya, hadis yang berkualitas dhaif dan maudhu’ tentu lebih tidak berhak untuk disandingkan dengan hadis-hadis shahih.
Namun demikian, Ibn al-Jauzy pengarang kitab al Maudhuat (hadis-hadis palsu), mengatakan bahwa hadis-hadis yang ada di dalam kitab al-Sunan al-Sughra tidak semuanya berkualitas shahih, namun ada yang maudhu’ (palsu). Ibn al-Jauzy menemukan sepuluh hadis maudhu’ di dalamnya, sehingga memunculkan kritik tajam terhadap kredibilitas al-Sunan al-Sughra. Seperti yang telah disinggung dimuka, hadis itu semua shahih menurut Imam al-Nasa’i. Adapun orang belakangan menilai hadis tersebut ada yang maudhu’, itu merupakan pandangan subyektivitas penilai. Dan masing-masing orang mempunyai kaidah-kaidah mandiri dalam menilai kualitas sebuah hadis. Demikian pula kaidah yang ditawarkan Imam al-Nasa’i dalam menilai keshahihan sebuah hadis, nampaknya berbeda dengan kaidah yang diterapkan oleh Ibn al-Jauzy. Sehingga dari sini akan memunculkan pandangan yang berbeda, dan itu sesuatu yang wajar terjadi. Sudut pandang yang berbeda akan menimbulkan kesimpulan yang berbeda pula.
Kritikan pedas Ibn al-Jauzy terhadap keautentikan karya monumental Imam al-Nasa’i ini, nampaknya mendapatkan bantahan yang cukup keras pula dari pakar hadis abad ke-9, yakni Imam Jalal al-Din al-Suyuti, dalam Sunan al-Nasa’i, memang terdapat hadis yang shahih, hasan, dan dhaif. Hanya saja jumlahnya relatif sedikit. Imam al-Suyuti tidak sampai menghasilkan kesimpulan bahwa ada hadis maudhu’ yang termuat dalam Sunan al-Nasa’i, sebagaimana kesimpulan yang dimunculkan oleh Imam Ibn al-Jauzy. Adapun pendapat ulama yang mengatakan bahwah hadis yang ada di dalam kitab Sunan al-Nasa’i semuanya berkualitas shahih, ini merupakan pandangan yang menurut Muhammad Abu Syahbah_tidak didukung oleh penelitian mendalam dan jeli. Kecuali maksud pernyataan itu bahwa mayoritas (sebagian besar) isi kitab Sunan al-Nasa’i berkualitas shahih.
Komentar Ulama
Imam al-Nasa’i merupakan figur yang cermat dan teliti dalam meneliti dan menyeleksi para periwayat hadis. Beliau juga telah menetapkan syarat-syarat tertentu dalam proses penyeleksian hadis-hadis yang diterimanya. Abu Ali al-Naisapuri pernah mengatakan, “Orang yang meriwayatkan hadis kepada kami adalah seorang imam hadis yang telah diakui oleh para ulama, ia bernama Abu Abd al Rahman al-Nasa’i.”
Lebih jauh lagi Imam al-Naisapuri mengatakan, “Syarat-syarat yang ditetapkan al-Nasa’i dalam menilai para periwayat hadis lebih ketat dan keras ketimbang syarat-syarat yang digunakan Muslim bin al-Hajjaj.” Ini merupakan komentar subyektif Imam al-Naisapuri terhadap pribadi al-Nasa’i yang berbeda dengan komentar ulama pada umumnya. Ulama pada umumnya lebih mengunggulkan keketatan penilaian Imam Muslim bin al-Hajjaj ketimbang al-Nasa’i. Bahkan komentar mayoritas ulama ini pulalah yang memposisikan Imam Muslim sebagai pakar hadis nomer dua, sesudah al-Bukhari.
Namun demikian, bukan berarti mayoritas ulama merendahkan kredibilitas Imam al-Nasa’i. Imam al-Nasa’i tidak hanya ahli dalam bidang hadis dan ilmu hadis, namun juga mumpuni dalam bidang figh. Al-Daruquthni pernah mengatakan, beliau adalah salah seorang Syaikh di Mesir yang paling ahli dalam bidang figh pada masanya dan paling mengetahui tentang Hadis dan para rawi. Al-Hakim Abu Abdullah berkata, “Pendapat-pendapat Abu Abd al-Rahman mengenai fiqh yang diambil dari hadis terlampau banyak untuk dapat kita kemukakan seluruhnya. Siapa yang menelaah dan mengkaji kitab Sunan al-Nasa’i, ia akan terpesona dengan keindahan dan kebagusan kata-katanya.”
Tidak ditemukan riwayat yang jelas tentang afiliansi pandangan fiqh beliau, kecuali komentar singkat Imam Madzhab Syafi’i. Pandangan Ibn al-Atsir ini dapat dimengerti dan difahami, karena memang Imam al-Nasa’i lama bermukim di Mesir, bahkan merasa cocok tinggal di sana. Beliau baru berhijrah dari Mesir ke Damsyik setahun menjelang kewafatannya.
Karena Imam al-Nasa’i cukup lama tinggal di Mesir, sementara Imam al-Syafi’i juga lama menyebarkan pandangan-pandangan fiqhnya di Mesir (setelah kepindahannya dari Bagdad), maka walaupun antara keduanya tidak pernah bertemu, karena al-Nasa’i baru lahir sebelas tahun setelah kewafatan Imam al-Syafi’i, tidak menutup kemungkinan banyak pandangan-pandangan fiqh Madzhab Syafi’i yang beliau serap melalui murid-murid Imam al-Syafi’i yang tinggal di Mesir. Pandangan fiqh Imam al-Syafi’i lebih tersebar di Mesir ketimbang di Baghdad. Hal ini lebih membuka peluang bagi Imam al-Nasa’i untuk bersinggungan dengan pandangan fiqh Syafi’i. Dan ini akan menguatkan dugaan Ibn al-Atsir tentang afiliasi mazhab fiqh al-Nasa’i.
Pandangan Syafi’i di Mesir ini kemudian dikenal dengan qaul jadid (pandangan baru). Dan ini seandainya dugaan Ibn al-Atsir benar, mengindikasikan bahwa pandangan fiqh Syafi’i dan al-Nasa’i lebih didominasi pandangan baru (Qaul Jadid, Mesir) ketimbang pandangan klasik (Qaul Qadim, Baghdad).
Namun demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa Imam al-Nasa’i merupakan sosok yang berpandangan netral, tidak memihak salah satu pandangan mazhab fiqh manapun, termasuk pandangan Imam al-Syafi’i. Hal ini seringkali terjadi pada imam-imam hadis sebelum al-Nasa’i, yang hanya berafiliasi pada mazhab hadis. Dan independensi pandangan ini merupakan ciri khas imam-imam hadis. Oleh karena itu, untuk mengklaim pandangan Imam al-Nasa’i telah terkontaminasi oleh pandangan orang lain, kita perlu menelusuri sumber sejarah yang konkrit, bukannya hanya berdasarkan dugaan.
Tutup Usia
Setahun menjelang kemangkatannya, beliau pindah dari Mesir ke Damsyik. Dan tampaknya tidak ada konsensus ulama tentang tempat meninggal beliau. Al-Daruqutni mengatakan, beliau di Makkah dan dikebumikan diantara Shafa dan Marwah. Pendapat yang senada dikemukakan oleh Abdullah bin Mandah dari Hamzah al-’Uqbi al-Mishri.
Sementara ulama yang lain, seperti Imam al-Dzahabi, menolak pendapat tersebut. Ia mengatakan, Imam al-Nasa’i meninggal di Ramlah, suatu daerah di Palestina. Pendapat ini didukung oleh Ibn Yunus, Abu Ja’far al-Thahawi (murid al-Nasa’i) dan Abu Bakar al-Naqatah. Menurut pandangan terakhir ini, Imam al-Nasa’i meninggal pada tahun 303 H dan dikebumikan di Bait al-Maqdis, Palestina. Inna lillah wa Inna Ilai Rajiun. Semoga jerih payahnya dalam mengemban wasiat Rasullullah guna menyebarluaskan hadis mendapatkan balasan yang setimpal di sisi Allah. Amin.
6.
BIOGRAFI IBNU MAJAH
Diantaranya adalah imam Ibnu Majah,
ulama yang terkenal jujur ini ternyata sangat berperan aktif dalam dakwah
Islam.
Bahkan ada yang mengatakan bahwa beliau termasuk dari ulama besar Islam karena kredibilitas dan loyalitasnya pada ilmu pengetahuan Islam yang sangat tinggi. Sehingga beliau termasuk dari pengarang Kutubu As-Sittah yang sangat monumental sampai sekarang.
Nama Lengkap, Kelahiran dan Wafatnya
Di suatu hari tepatnya pada tahun 207 H / 209 H. s/d 273 H = (824 M / 826 M s/d 887 M ) Allah menurunkan anugerahnya kepada rakyat daerah Qazwin, karena di tempat itulah seorang imam yang jujur dan cerdas dilahirkan. Imam itu adalah Abu Abdullah Muhammad bin Yazid Ar-Rabî’î bin Majah Al-Qazwinî Al-Hâfidz, namun imam tersebut dengan sebutan Ibnu Majah. Sebutan Majah ini dinisbatkan kepada ayahnya Yazid, yang juga dikenal dengan sebutan Majah Maula Rab’at. Ada juga yang mengatakan bahwa Majah adalah ayah dari Yazid. Walaupun demikian, tampaknya pendapat pertama yang lebih valid.
Bahkan ada yang mengatakan bahwa beliau termasuk dari ulama besar Islam karena kredibilitas dan loyalitasnya pada ilmu pengetahuan Islam yang sangat tinggi. Sehingga beliau termasuk dari pengarang Kutubu As-Sittah yang sangat monumental sampai sekarang.
Nama Lengkap, Kelahiran dan Wafatnya
Di suatu hari tepatnya pada tahun 207 H / 209 H. s/d 273 H = (824 M / 826 M s/d 887 M ) Allah menurunkan anugerahnya kepada rakyat daerah Qazwin, karena di tempat itulah seorang imam yang jujur dan cerdas dilahirkan. Imam itu adalah Abu Abdullah Muhammad bin Yazid Ar-Rabî’î bin Majah Al-Qazwinî Al-Hâfidz, namun imam tersebut dengan sebutan Ibnu Majah. Sebutan Majah ini dinisbatkan kepada ayahnya Yazid, yang juga dikenal dengan sebutan Majah Maula Rab’at. Ada juga yang mengatakan bahwa Majah adalah ayah dari Yazid. Walaupun demikian, tampaknya pendapat pertama yang lebih valid.
Kata “Majah” dalam nama belia adalah
dengan huruf “ha” yang dibaca sukun; inilah pendapat yang sahih yang dipakai
oleh mayoritas ulama, bukan dengan “ta” (majat) sebagaimana pendapat sebagian
orang. Kata itu adalah gelar ayah Muhammad, bukan gelar kakeknya, seperti
diterangkan penulis Qamus jilid 9, hal. 208. Ibn Katsr dalam Al-Bidayah
wan-Nibayah, jilid 11, hal. 52.
Beliau mulai menginjakkan kakinya di
dunia pendidikan sejak usia remaja, dan menekuni pada bidang hadits sejak
menginjak usia 15 tahun pada seorang guru yang ternama pada kala itu, yaitu Ali
bin Muhammad At-Tanafasy (wafat tanggal 233 H). Bakat dan minat yang sangat
besar yang dimilikinyalah yang akhirnya membawa beliau berkelana ke penjuru
negeri untuk menelusuri ilmu hadits. Sepanjang hayatnya beliau telah
mendedikasikan pikiran dan jiwanya dengan menulis beberapa buku Islam, seperti
buku fikih, tafsir, hadits, dan sejarah. Dalam bidang sejarah beliau menulis
buku “At-Târîkh” yang mengulas sejarah atau biografi para muhaddits sejak awal
hingga masanya, dalam bidang tafsir beliau menulis buku “Al-Qur’ân Al-Karîm”
dan dalam bidang hadits beliau menulis buku “Sunan Ibnu Majah”. Disayangkan
sekali karena buku “At-Târîkh” dan “Al-Qur’ân Al-Karîm” itu tidak sampai pada
generasi selanjutnya karena dirasa kurang monumental.
Suatu hari umat Islam di dunia
ditimpa ujian, kesedihan menimpa kalbu mereka. Karena setelah memberikan
kontribusi yang berarti bagi umat, akhirnya sang imam yang dicintai ini
dipanggil oleh yang Maha Kuasa pada hari Senin tanggal 22 Ramadhan 273 H/887 M.
Almarhum dimakamkan hari Selasa di tanah kelahirannya Qazwîn, Iraq.
Ada pendapat yang mengatakan beliau meninggal pada tahun 275 H, namun pendapat yang pertama lebih valid.
Walaupun beliau sudah lama sampai ke finish perajalanan hidupnya, namun hingga kini beliau tetap dikenang dan disanjung oleh seluruh umat Islam dunia. Dan ini adalah bukti bahwa beliau memang seorang ilmuan sejati.
Ada pendapat yang mengatakan beliau meninggal pada tahun 275 H, namun pendapat yang pertama lebih valid.
Walaupun beliau sudah lama sampai ke finish perajalanan hidupnya, namun hingga kini beliau tetap dikenang dan disanjung oleh seluruh umat Islam dunia. Dan ini adalah bukti bahwa beliau memang seorang ilmuan sejati.
Perjalanan Menuntut Ilmu
Sama halnya dengan para imam-imam terdahulu yang gigih menuntut ilmu, seorang imam terkenal Ibnu Majah juga melakukan perjalanan yang cukup panjang untuk mencari secercah cahaya ilmu Ilahi, karena ilmu yang dituntut langsung dari sumbernya memiliki nilai lebih tersendiri daripada belajar di luar daerah ilmu itu berasal. Oleh sebab itu beliau sudah melakukan rihlah ilmiyah-nya ke beberapa daerah; seperti kota-kota di Iraq, Hijaz, Syam, Pârs, Mesir, Bashrah, Kufah, Mekah, Madinah, Damaskus, Ray (Teheran) dan Konstatinopel.
Dalam pengembaraannya beliau bertemu banyak guru yang dicarinya, dari merekalah nantinya ia menggali sedalam-dalamnya ilmu pengetahuan dan menggali potensinya. Rihlah ini akhirnya menghasilkan buah yang sangat manis dan bermanfaat sekali bagi kelangsungan gizi umat Islam, karena perjalanannya ini telah membidani lahirnya buku yang sangat monumental sekali, yaitu kitab “Sunan Ibnu Majah”.
Sama halnya dengan para imam-imam terdahulu yang gigih menuntut ilmu, seorang imam terkenal Ibnu Majah juga melakukan perjalanan yang cukup panjang untuk mencari secercah cahaya ilmu Ilahi, karena ilmu yang dituntut langsung dari sumbernya memiliki nilai lebih tersendiri daripada belajar di luar daerah ilmu itu berasal. Oleh sebab itu beliau sudah melakukan rihlah ilmiyah-nya ke beberapa daerah; seperti kota-kota di Iraq, Hijaz, Syam, Pârs, Mesir, Bashrah, Kufah, Mekah, Madinah, Damaskus, Ray (Teheran) dan Konstatinopel.
Dalam pengembaraannya beliau bertemu banyak guru yang dicarinya, dari merekalah nantinya ia menggali sedalam-dalamnya ilmu pengetahuan dan menggali potensinya. Rihlah ini akhirnya menghasilkan buah yang sangat manis dan bermanfaat sekali bagi kelangsungan gizi umat Islam, karena perjalanannya ini telah membidani lahirnya buku yang sangat monumental sekali, yaitu kitab “Sunan Ibnu Majah”.
Para Guru dan Murid Imam Ibnu Majah
Dalam perjalanan konteks rihlah ilmiyah-nya ternyata banyak para syeikh pakar yang ditemui sang imam dalam bidang hadits; diantaranya adalah kedua anak syeikh Syaibah (Abdullah dan Usman), akan tetapi sang imam lebih banyak meriwayatkan hadits dari Abdullah bin Abi Syaibah. Dan juga Abu Khaitsamah Zahîr bin Harb, Duhîm, Abu Mus’ab Az-Zahry, Al-Hâfidz Ali bin Muhammad At-Tanâfasy, Jubârah bin Mughallis, Muhammad bin Abdullah bin Numayr, Hisyam bin Ammar, Ahmad bin Al-Azhar, Basyar bin.
Dalam perjalanan konteks rihlah ilmiyah-nya ternyata banyak para syeikh pakar yang ditemui sang imam dalam bidang hadits; diantaranya adalah kedua anak syeikh Syaibah (Abdullah dan Usman), akan tetapi sang imam lebih banyak meriwayatkan hadits dari Abdullah bin Abi Syaibah. Dan juga Abu Khaitsamah Zahîr bin Harb, Duhîm, Abu Mus’ab Az-Zahry, Al-Hâfidz Ali bin Muhammad At-Tanâfasy, Jubârah bin Mughallis, Muhammad bin Abdullah bin Numayr, Hisyam bin Ammar, Ahmad bin Al-Azhar, Basyar bin.
Adam dan para pengikut perawi dan
ahli hadits imam Malik dan Al-Lays.
Seperti dikatakan pepatah “Ilmu yang tak diamalkan bagaikan pohon yang tak berbuah”, bait syair ini sarat makna yang luas. Walaupun pohon itu indah dan tegar, namun kalau tidak bisa mendatangkan manfaat bagi yang lain maka tidak ada maknanya, seorang penuntut ilmu sejati biasanya sangat senang sekali untuk men’transfer’ ilmunya kepada orang lain, karena dengan seringnya pengulangan maka semakin melekatlah dalam ingatan. Bak kata pepatah lagi “Ala bisa karena biasa”. Oleh sebab itu, sang imam inipun giat dalam memberikan pelajaran bagi murid-murid yang patut untut diacungi jempol.
Diantara murid yang belajar padanya adalah Abu Al-Hasan Ali bin Ibrahim Al-Qatthân, Sulaiman bin Yazid, Abu Ja’far Muhammad bin Isa Al-Mathû’î dan Abu Bakar Hamid Al-Abhâry. Keempat murid ini adalah para perawi Sunan Ibnu Majah, tapi yang sampai pada kita sekarang adalah dari Abu Hasan bin Qatthân saja.
Seperti dikatakan pepatah “Ilmu yang tak diamalkan bagaikan pohon yang tak berbuah”, bait syair ini sarat makna yang luas. Walaupun pohon itu indah dan tegar, namun kalau tidak bisa mendatangkan manfaat bagi yang lain maka tidak ada maknanya, seorang penuntut ilmu sejati biasanya sangat senang sekali untuk men’transfer’ ilmunya kepada orang lain, karena dengan seringnya pengulangan maka semakin melekatlah dalam ingatan. Bak kata pepatah lagi “Ala bisa karena biasa”. Oleh sebab itu, sang imam inipun giat dalam memberikan pelajaran bagi murid-murid yang patut untut diacungi jempol.
Diantara murid yang belajar padanya adalah Abu Al-Hasan Ali bin Ibrahim Al-Qatthân, Sulaiman bin Yazid, Abu Ja’far Muhammad bin Isa Al-Mathû’î dan Abu Bakar Hamid Al-Abhâry. Keempat murid ini adalah para perawi Sunan Ibnu Majah, tapi yang sampai pada kita sekarang adalah dari Abu Hasan bin Qatthân saja.
Sanjungan Para Ulama Terhadap Imam
Ibnu Majah
Berkat istiqamah dan kegigihannya dalam dunia pendidikan, ditambah lagi ketekunannya dalam disiplin hadits; maka wajar apabila beliau termasuk ulama yang paling disegani pada masanya. Dan tak heran apabila beliau sering mendapatkan penghargaan yang tinggi dan sanjungan dari ulama-ulama selainnya. Abu Ya’la Al-Kahlily Al-Qazwîny berkata : “Imam Ibnu Majah adalah seorang kepercayaan yang besar, yang disepakati tentang kejujurannya, dan dapat dijadikan argumentasi pendapat-pendapatnya, ia mempunyai pengetahuan luas dan banyak menghafal hadits”.
Berkat istiqamah dan kegigihannya dalam dunia pendidikan, ditambah lagi ketekunannya dalam disiplin hadits; maka wajar apabila beliau termasuk ulama yang paling disegani pada masanya. Dan tak heran apabila beliau sering mendapatkan penghargaan yang tinggi dan sanjungan dari ulama-ulama selainnya. Abu Ya’la Al-Kahlily Al-Qazwîny berkata : “Imam Ibnu Majah adalah seorang kepercayaan yang besar, yang disepakati tentang kejujurannya, dan dapat dijadikan argumentasi pendapat-pendapatnya, ia mempunyai pengetahuan luas dan banyak menghafal hadits”.
Sanjungan yang senada banyak juga
yang menyampaikannya pada beliau, seperti Abu Zar’ah Ar-Râzî dan Zahaby dalam bukunya
“Tazkiratu Al-Huffâdz” mengilustrasikannya sebagai ahli hadits besar dan
mufassir, pengarang kitab Sunan dan tafsir, serta ahli hadits kenamaan
negerinya.
Kejujuran, kecerdasan dan pengetahuannya yang sangat luas telah menobatkan beliau menjadi ulama ternama. Seorang penuntut ilmu yang cerdas tidak ada artinya apabila tidak memiliki keindahan akhlak, tetapi seorang penuntut ilmu tadi akan lebih terhormat dan mulia pula. Karena akhlak mulia adalah simbol atau refleksi dari ilmu yang dimilikinya. Statement ini diperkuat dengan kalam Allah dalam Al-Quran : “…Allah meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan dengan beberapa derajat, dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Seorang mufassir dan kritikus hadits besar yang bernama Ibnu Kasir dalam karyanya “Al-Bidâyah” mengatakan : “Muhammad bin Yazid (Ibnu Majah) adalah pengarang kitab Sunan yang masyhur. Kitabnya itu bukti atas ilmu dan amalnya, keluasan pengetahuan dan pandangannya, serta kredibilitas dan loyalitasnya terhadap hadits dan ushûl serta furû’.” Begitulah sebahagian kecil sanjungan yang diterima Ibnu Majah selama ini. Semoga Allah menyertakan beliau termasuk golongan orang-orang yang dibanggakan-Nya di hadapan malaikat-malaikat-Nya.
Kejujuran, kecerdasan dan pengetahuannya yang sangat luas telah menobatkan beliau menjadi ulama ternama. Seorang penuntut ilmu yang cerdas tidak ada artinya apabila tidak memiliki keindahan akhlak, tetapi seorang penuntut ilmu tadi akan lebih terhormat dan mulia pula. Karena akhlak mulia adalah simbol atau refleksi dari ilmu yang dimilikinya. Statement ini diperkuat dengan kalam Allah dalam Al-Quran : “…Allah meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan dengan beberapa derajat, dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Seorang mufassir dan kritikus hadits besar yang bernama Ibnu Kasir dalam karyanya “Al-Bidâyah” mengatakan : “Muhammad bin Yazid (Ibnu Majah) adalah pengarang kitab Sunan yang masyhur. Kitabnya itu bukti atas ilmu dan amalnya, keluasan pengetahuan dan pandangannya, serta kredibilitas dan loyalitasnya terhadap hadits dan ushûl serta furû’.” Begitulah sebahagian kecil sanjungan yang diterima Ibnu Majah selama ini. Semoga Allah menyertakan beliau termasuk golongan orang-orang yang dibanggakan-Nya di hadapan malaikat-malaikat-Nya.
Karya-karyanya
Imam Ibn Majah mempunyai banyak karya tulis, di antaranya:
1. Kitab As-Sunan, yang merupakan salah satu Kutubus Sittah (Enam Kitab Hadits yang Pokok).
2. Kitab Tafsir Al-Qur’an, sebuah kitab tafsir yang besar manfatnya seperti diterangkan Ibn Kasir.
3. Kitab Tarikh, berisi sejarah sejak masa sahabat sampai masa Ibn Majah.
Imam Ibn Majah mempunyai banyak karya tulis, di antaranya:
1. Kitab As-Sunan, yang merupakan salah satu Kutubus Sittah (Enam Kitab Hadits yang Pokok).
2. Kitab Tafsir Al-Qur’an, sebuah kitab tafsir yang besar manfatnya seperti diterangkan Ibn Kasir.
3. Kitab Tarikh, berisi sejarah sejak masa sahabat sampai masa Ibn Majah.
Metodologi Imam Ibnu Majah
Kalau kita berbicara seputar metodologi yang dianut oleh imam Ibnu Majah dalam pengumpulan dan penyusunan hadits, maka seyogianyalah kita untuk mengulas dan menilik lebih lanjut dari metode sang imam dalam menyusun kitab “Sunan Ibnu Majah”. Karena buku yang digunakan sebagai salah satu referensi bagi umat Islam ini adalah buku unggulan beliau yang populer sepanjang sekte kehidupan. Walaupun beliau sudah berusaha untuk menghindarkannya dari kesalahan penulisan, namun sayang masih terdapat juga hadits-hadits yang dho’îf bahkan maudû’ di dalamnya.
Kalau kita berbicara seputar metodologi yang dianut oleh imam Ibnu Majah dalam pengumpulan dan penyusunan hadits, maka seyogianyalah kita untuk mengulas dan menilik lebih lanjut dari metode sang imam dalam menyusun kitab “Sunan Ibnu Majah”. Karena buku yang digunakan sebagai salah satu referensi bagi umat Islam ini adalah buku unggulan beliau yang populer sepanjang sekte kehidupan. Walaupun beliau sudah berusaha untuk menghindarkannya dari kesalahan penulisan, namun sayang masih terdapat juga hadits-hadits yang dho’îf bahkan maudû’ di dalamnya.
Dalam menulis buku Sunan ini, beliau
memulainya terlebih dahulu dengan mengumpulkan hadits-hadits dan menyusunnya menurut
kitab atau bab-bab yang berkenaan dengan masalah fiqih, hal ini seiring dengan
metodologi para muhadditsîn yang lain.
Setelah menyusun hadits tersebut, imam Ibnu Majah tidak terlalu memfokuskan ta’lîqul Al-Hadits yang terdapat pada kitab-kitab fikih tersebut, atau boleh dikatakan beliau hanya mengkritisi hadits-hadits yang menurut hemat beliau adalah penting.
Setelah menyusun hadits tersebut, imam Ibnu Majah tidak terlalu memfokuskan ta’lîqul Al-Hadits yang terdapat pada kitab-kitab fikih tersebut, atau boleh dikatakan beliau hanya mengkritisi hadits-hadits yang menurut hemat beliau adalah penting.
Seperti kebanyakan para penulis
kitab-kitab fikih yang lain, dimana setelah menulis hadits mereka memasukkan
pendapat para ulama fâqih setelahnya, namun dalam hal ini Ibnu Majah tidak
menyebutkan pendapat para ulama fâqih setelah penulisan hadits.
Sama halnya dengan imam Muslim, imam Ibnu Majah ternyata juga tidak melakukan pengulangan hadits berulang kali kecuali hanya sebahagian kecil saja dan itu penting menurut beliau.
Sama halnya dengan imam Muslim, imam Ibnu Majah ternyata juga tidak melakukan pengulangan hadits berulang kali kecuali hanya sebahagian kecil saja dan itu penting menurut beliau.
Ternyata kitab Sunan ini tidak
semuanya diriwayatkan oleh Ibnu Majah seperti perkiraan orang banyak selama
ini, tapi pada hakikatnya terdapat di dalamnya beberapa tambahan yang
diriwayatkan oleh Abu Al-Hasan Al-Qatthany yang juga merupakan periwayat dari
“Sunan Ibnu Majah”. Persepsi ini juga sejalan pada “Musnad Imam Ahmad”, karena
banyak orang yang menyangka bahwa seluruh hadits di dalamnya diriwayatkan
seluruhnya oleh beliau, akan tetapi sebahagian darinya ada juga yang
diriwayatkan oleh Abdullah bin Imam Ahmad dan sebahagian kecil oleh Al-Qathî’î,
namun imam Abdullah lebih banyak meriwayatkan dibanding dengan Al-Qathî’î.
Namun dalam pembahasan kali ini kita kita tidak berbicara banyak seputar
“Musnad Imam Ahmad”, karena biografi dan metodologi beliau telah diulas pada
diskusi sebelumnya.
Ketika Al-Hasan Al-Qatthâny
mendapatkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Sya’bah dengan
perantara perawi lainnya, dan pada hadits yang sama juga beliau mendapatkan
perawi selain gurunya Ibnu Majah, maka hadits ini telah sampai pada kategori
hadits Uluwwu Al-Isnâd meskipun beliau hanya sebatas murid dari sang imam Ibnu
Majah, namun derajatnya sama dengan gurunya dalam subtansi Uluwwu Al-Hadîts
tersebut, ada juga berhasil disusun oleh sang imam dengan uraian sebanyak 32
kitab menurut Zahaby, dan 1500 bab menurut Abu Al-Hasan Al-Qatthâny serta 4000
hadits.
Sekilas Tentang Kitab “Sunan Ibnu
Majah”
Kitab “Sunan Ibnu Majah” adalah kitab yang termasuk kategori Kutubu As-Sittah, sebelum kita menelaah lebih dalam lagi tentang buku ini, ada baiknya terlebih dahulu untuk membedah data buku monumental ini. Agar kita lebih terkesan dan tertarik lagi untuk mengintervensikan diri kita pada bidang hadits.
Buku hadits yang dikarang oleh Imam Ibnu Majah ini dikenal dengan nama “Sunan Ibnu Majah”. Karena termasuk buku yang telah menyita perhatian bagi umat Islam, sehingga Abu Al-Hasan Muhammad Shâdiq bin Abdu Al-Hady As-Sanady (wafat tahun 1138) pun mendedikasikan pikirannya untuk men-syarah buku ini yang kemudian akhirnya di-ta’lîq oleh Fuad Abdu Al-Bâqy.
Kitab ini memiliki keistimewaan yang patut diberikan applause, berkat kegigihan imam Ibnu Majah dalam menciptakan karya yang terbaik dan bermanfaat bagi Muslim sedunia, dapat kita lihat bahwa buku ini memiliki susunan yang baik dan tidak ada pengulangan hadits yang serupa kecuali memang dianggap penting oleh sang Imam. Shiddîq Hasan Khân dalam kitab ‘Al-Hittah’ berkata, “Tidak ada ‘Kutubu As-Sittah’ yang menyerupai seperti ini (baca : Kitab “Sunan Ibnu Majah”), karena ia menjaga sekali adanya pengulangan hadits-hadits, walaupun ada itupun hanya sebahagian kecil saja. Seperti imam Muslim R.A. halnya yang mendekati buku ini. Dimana beliau tidak mengadakan pengulangan hadits dalam beberapa sub judul kitab, tapi beliau mengulang hadits tersebut dalam hanya dalam satu judul.
Kitab “Sunan Ibnu Majah” adalah kitab yang termasuk kategori Kutubu As-Sittah, sebelum kita menelaah lebih dalam lagi tentang buku ini, ada baiknya terlebih dahulu untuk membedah data buku monumental ini. Agar kita lebih terkesan dan tertarik lagi untuk mengintervensikan diri kita pada bidang hadits.
Buku hadits yang dikarang oleh Imam Ibnu Majah ini dikenal dengan nama “Sunan Ibnu Majah”. Karena termasuk buku yang telah menyita perhatian bagi umat Islam, sehingga Abu Al-Hasan Muhammad Shâdiq bin Abdu Al-Hady As-Sanady (wafat tahun 1138) pun mendedikasikan pikirannya untuk men-syarah buku ini yang kemudian akhirnya di-ta’lîq oleh Fuad Abdu Al-Bâqy.
Kitab ini memiliki keistimewaan yang patut diberikan applause, berkat kegigihan imam Ibnu Majah dalam menciptakan karya yang terbaik dan bermanfaat bagi Muslim sedunia, dapat kita lihat bahwa buku ini memiliki susunan yang baik dan tidak ada pengulangan hadits yang serupa kecuali memang dianggap penting oleh sang Imam. Shiddîq Hasan Khân dalam kitab ‘Al-Hittah’ berkata, “Tidak ada ‘Kutubu As-Sittah’ yang menyerupai seperti ini (baca : Kitab “Sunan Ibnu Majah”), karena ia menjaga sekali adanya pengulangan hadits-hadits, walaupun ada itupun hanya sebahagian kecil saja. Seperti imam Muslim R.A. halnya yang mendekati buku ini. Dimana beliau tidak mengadakan pengulangan hadits dalam beberapa sub judul kitab, tapi beliau mengulang hadits tersebut dalam hanya dalam satu judul.
Buku “Sunan Ibnu Majah” terdiri dari
32 (tiga puluh dua) kitab menurut Al-Zahabî, dan 1500 (seribu lima ratus) bab
menurut Abu Al-Hasan Al-Qatthanî, dan terdiri dari 4000 (empat ribu) hadits
menurut Az-Zahabî. Tapi kalau kita teliti ulang lagi dengan melihat buku yang
di-tahqîq oleh Muhammad Fuad Abdul Bâqî rahimahullah, bahwa buku ini berjumlah
37 (tiga puluh tujuh) kitab selain dari muqaddimah, berarti kalau ditambah
dengan muqaddimah maka jumlahnya 38 (tiga puluh delapan) kitab. Sedangkan
jumlah babnya terdiri dari 1515 (seribu lima ratus lima belas) bab dan 4341
(empat ribu tiga ratus empat puluh satu) hadits. Hal ini disebabkan akibat
adanya perbedaan nasakh. Kitab hadits yang terdiri dari 4341 (empat ribu tiga
ratus empat puluh satu) hadits ini ternyata 3002 (tiga ribu dua) hadits
diantaranya telah di-takhrîj oleh Imam Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi,
Nasai dan yang lainnya. Dan 1239 (seribu dua ratus tiga puluh sembilan) hadits
lagi adalah tambahan dari Imam Ibnu Majah.
Klasifikasi hadits tersebut adalah :
Empat ratus tiga puluh delapan hadits diriwayatakan oleh para rijâl yang terpercaya dan sanadnya shahih.Ø
Klasifikasi hadits tersebut adalah :
Empat ratus tiga puluh delapan hadits diriwayatakan oleh para rijâl yang terpercaya dan sanadnya shahih.Ø
Seratus sembilan puluh sembilan hadits
sanadnya adalah hasanØ
Enam ratus tiga belas hadits sanadnya dho’îfØ
Sembilan puluh sembilan hadits sanadnya adalah mungkar, wâhiah dan makzhûbahØ
Kedudukan Sunan Ibn Majah di antara Kitab-kitab Hadits
Sebagian ulama tidak memasukkan Sunan Ibn Majah ke dalam kelompok “Kitab Hadits Pokok” mengingat derajat Sunan ini lebih rendah dari kitab-kitab hadits yang lima.
Sebagian ulama yang lain menetapkan, bahwa kitab-kitab hadits yang pokok ada enam kitab (Al-Kutubus Sittah/Enam Kitab Hadits Pokok), yaitu:
Enam ratus tiga belas hadits sanadnya dho’îfØ
Sembilan puluh sembilan hadits sanadnya adalah mungkar, wâhiah dan makzhûbahØ
Kedudukan Sunan Ibn Majah di antara Kitab-kitab Hadits
Sebagian ulama tidak memasukkan Sunan Ibn Majah ke dalam kelompok “Kitab Hadits Pokok” mengingat derajat Sunan ini lebih rendah dari kitab-kitab hadits yang lima.
Sebagian ulama yang lain menetapkan, bahwa kitab-kitab hadits yang pokok ada enam kitab (Al-Kutubus Sittah/Enam Kitab Hadits Pokok), yaitu:
1. Sahih Bukhari, karya Imam Bukhari.
2. Sahih Muslim, karya Imam Muslim.
3. Sunan Abu Dawud, karya Imam Abu Dawud.
4. Sunan Nasa’i, karya Imam Nasa’i.
5. Sunan Tirmizi, karya Imam Tirmizi.
6. Sunan Ibn Majah, karya Imam Ibn majah.
Ulama pertama yang memandang Sunan
Ibn Majah sebagai kitab keenam adalah al-Hafiz Abul-Fardl Muhammad bin Tahir
al-Maqdisi (wafat pada 507 H) dalam kitabnya Atraful Kutubus Sittah dan dalam
risalahnya Syurutul ‘A’immatis Sittah.
Pendapat itu kemudian diikuti oleh al-Hafiz ‘Abdul Gani bin al-Wahid al-Maqdisi (wafat 600 H) dalam kitabnya Al-Ikmal fi Asma’ ar-Rijal. Selanjutnya pendapat mereka ini diikuti pula oleh sebagian besar ulama yang kemudian.
Pendapat itu kemudian diikuti oleh al-Hafiz ‘Abdul Gani bin al-Wahid al-Maqdisi (wafat 600 H) dalam kitabnya Al-Ikmal fi Asma’ ar-Rijal. Selanjutnya pendapat mereka ini diikuti pula oleh sebagian besar ulama yang kemudian.
Mereka mendahulukan Sunan Ibn Majah
dan memandangnya sebagai kitab keenam, tetapi tidak mengkategorikan kitab Al Muwatta’
karya Imam Malik sebagai kitab keenam, padahal kitab ini lebih sahih daripada
Sunan Ibn Majah, hal ini mengingat bahwa Sunan Ibn Majah banyak zawa’idnya
(tambahannya) atas Kutubul Khamsah. Berbeda dengan Al-Muwatta’, yang
hadits-hadits itu kecuali sedikit sekali, hampir seluruhnya telah termuat dalam
Kutubul Khamsah.
Di antara para ulama ada yang menjadikan Al-Muwatta’ susunan Imam Malik ini sebagai salah satu Usulus Sittah (Enam Kitab Pokok), bukan Sunan Ibn Majah.
Di antara para ulama ada yang menjadikan Al-Muwatta’ susunan Imam Malik ini sebagai salah satu Usulus Sittah (Enam Kitab Pokok), bukan Sunan Ibn Majah.
Ulama pertama yang berpendapat demikian
adalah Abul Hasan Ahmad bin Razin al-Abdari as-Sarqisti (wafat sekitar tahun
535 H) dalam kitabnya At-Tajrid fil Jam’i Bainas-Sihah. Pendapat ini diikuti
oleh Abus Sa’adat Majduddin Ibnul Asir al-Jazairi asy-Syafi’i (wafat 606 H).
Demikian pula az-Zabidi asy-Syafi’i (wafat 944 H) dalam kitabnya Taysirul
Wusul.
Oleh sebab itu buku ini dianggap istimewa disebabkan isinya mayoritas diisi dengan hadits yang shahih, sedangkan hadits yang mungkar dan wâhiah hanya sedikit.
Menurut syeikh Al-Bâny, dalam sunan ini terdapat sekitar delapan ratus hadits yang masuk dalam kategori hadits dho’îf.
Oleh sebab itu buku ini dianggap istimewa disebabkan isinya mayoritas diisi dengan hadits yang shahih, sedangkan hadits yang mungkar dan wâhiah hanya sedikit.
Menurut syeikh Al-Bâny, dalam sunan ini terdapat sekitar delapan ratus hadits yang masuk dalam kategori hadits dho’îf.
Kesalahan dan kekhilapan adalah
suatu hal yang biasa , namun kesilapan itu akhirnya lebih berarti daripada
tidak berbuat sama sekali. Ahmad bin Sulaiman Ayyub dalam bukunya “Musthalah
Al-Hadîts lilhadîts Al-Bâni” mengatakan bahwa Imam Ibnu Majah tidak menghukumi
bahwa kitabnya ma’sûm dari maudhû’, maka seandainya ia tidak menghukumi seperti
itu, maka ia telah berkontroversi karena realitanya tidak begitu.
Sulasiyyat Ibn Majah
Ibn Majah telah meriwayatkan beberapa buah hadits dengan sanad tinggi (sedikit sanadnya), sehingga antara dia dengan Nabi SAW hanya terdapat tiga perawi.
Hadits semacam inilah yang dikenal dengan sebutan Sulasiyyat
Ibn Majah telah meriwayatkan beberapa buah hadits dengan sanad tinggi (sedikit sanadnya), sehingga antara dia dengan Nabi SAW hanya terdapat tiga perawi.
Hadits semacam inilah yang dikenal dengan sebutan Sulasiyyat
Penutup
Begitulah kilas sedikit tentang Imam jujur dan berpengetahuan luas Ibnu Majah, berbagai banyak pengorbanannya kepada Islam dalam dunia pendidikan demi mewujudkan para ulama yang baru yang siap berjuang di jalan Allah. Semoga Allah merahmatinya selal
Begitulah kilas sedikit tentang Imam jujur dan berpengetahuan luas Ibnu Majah, berbagai banyak pengorbanannya kepada Islam dalam dunia pendidikan demi mewujudkan para ulama yang baru yang siap berjuang di jalan Allah. Semoga Allah merahmatinya selal
syukron wa 'afwan ana mengcopi tulisannya
BalasHapus