Rabu, 10 Juli 2013

Tokoh2 Filosof Islam


Posted by anharul ulum
AL-FARABI, AL-GHAZALI, ALKINDI, FILOSOF ISLAM, IBNU BAJAH, IBNU RUSYD, IBNU SINA, IBNU THUFAIL
Tidak dapat dipungkiri bahwa pemikiran filsafat Islam terpengaruh oleh filsafat Yunani. Filosof-filosof Islam banyak mengambil pikiran Aristoteles dan sangat tertarik dengan pikiran-pikiran Plotinus sehingga banyak teorinya yang diambil. Memang demikianlah keadaan orang yang datang kemudian, terpengaruh oleh orang-orang sebelumnya dan berguru kepada mereka. Kita saja yang hidup pada abad ke-20 ini, dalam banyak hal masih berhutang budi kepada orang-orang Yunani dan Romawi. Akan tetapi berguru tidak berarti mengekor dan hanya mengutip, sehingga harus dikatakan bahwa filsafat Islam itu hanya kutipan semata-mata dari Aristoteles, seperti apa yang dikatakan Renan, atau dari neo-Platonisme, seperti yang dikatakan Duhem, karena filsafat Islam telah menampung dan mempertemukan berbagai aliran pemikiran. Kalau filsafat Yunani merupakan salah satu sumbernya, maka tidak aneh kalau kebudayaan India dan Iran juga menjadi sumbernya pula.

Perpindahan dan pertukaran pikiran tidak selalu berarti berhutang budi. Sesuatu persoalan kadang-kadang dibicarakan dan diselidiki oleh orang banyak dan hasilnya dapat mempunyai bermacam-macam corak: seseorang bisa mengambil persoalan yang pernah dikemukakannya oleh orang lain sambil mengemukakan teori dan pikirannya sendiri. Spinoza misalnya, meskipun banyak mengikuti Descartes, namun ia mempunyai mazhabnya sendiri. Ibnu Sina, meskipun murid yang setia dari Aristoteles, namun ia mempunyai pikiran-pikiran yang berlainan.

Filosof-filosof Islam pada umumnya hidup dalam lingkungan dan suasana yang berbeda dari apa yang dialami oleh filosof-filosof lain, dan pengaruh-pengaruh lingkungan dan suasana terhadap jalan pikiran mereka tidak bisa dilupakan. Pada akhirnya tidaklah bisa dipungkuri bahwa dunia Islam telah berhasil membentuk suatu filsafat yang sesuai dengan prinsip-prinsip agama dan keadaan masyarakat Islam sendiri.
  1. AL-KINDI
Nama lengkapnya Abu Yusuf, Ya’kub bin Ishak Al-Sabbah bin Imran bin Al-Asha’ath bin Kays Al-Kindi. Beliau biasa disebut Ya’kub, lahir pada tahun 185 H (801 M) di Kufah. Keturunan dari suku Kays, dengan gelar Abu Yusuf  (bapak dari anak yang bernama Yusuf) nama orang tuanya Ishaq Ashshabbah, dan ayahnya menjabat gubernur di Kufah, pada masa pemerintahan Al-Mahdi dan Harun Al-Rasyid dari Bani Abbas.
Nama Al-Kindi adalah merupakan nama yang diambil dari nama sebuah suku, yaitu : Banu Kindah. Banu Kindah adalah suku keturunan Kindah, yang berlokasi di daerah selatan Jazirah Arab dan mereka ini mempunyai kebudayaan yang tinggi.
Sebagai orang yang dilahirkan di kalangan para intelektual, maka pendiidkan yang pertama-tama diterima adalah membaca Al-Qur’an, menulis, dan berhitung. Disamping itu ia banyak mempelajari tentang sastra dan agama, juga menerjemahkan beberapa buku Yunani di dalam bahasa Syiria kuno, dan bahasa Arab.
Al-Kindi mengarang buku-buku yang menganut keterangan Ibnu Al-Nadim buku yang ditulisnya berjumlah 241 dalam bidang filsafat, logika, arithmatika, astronomi, kedokteran, ilmu jiwa, politik, optika, musik, matematika dan sebagainya. Dari karangan-karangannya, dapat kita ketahui bahwa Al-Kindi termasuk penganut aliran Eklektisisme; dalam metafisika dan kosmologi mengambil pendapat Aristoteles, dalam psikologi mengambil pendapat Plato, dalam hal etika mengambil pendapat Socrates dan Plato.
Mengenai filsafat dan agama, Al-Kindi berusaha mempertemukan amtara kedua hal ini; Filsafat dan agama. Al-Kindi berpendapat bahwa filsafat adalah ilmu tentang kebenaran atau ilmu yang paling mulia dan paling tinggi martabatnya. Dan agama juga merupakan ilmu mengenai kebenaran, akan tetapi keduanya memiliki perbedaan.
Mengenai hakikat Tuhan, Al-Kindi menegaskan bahwa Tuhan adalah wujud yang hak (benar), yang bukan asalnya tidak ada menjadi ada, ia selalu mustahil tidak ada, ia selalu ada dan akan selalu ada. Jadi Tuhan adalah wujud sempurna yang tidak didahului oleh wujud yang lain, tidak berakhir wujudNya dan tidak wujud kecuali denganNya.
Unsur-unsur filsafat yang kita dapati pada pemikiran Al-Kindi ialah:
v   Aliran Pythagoras tentang matematika sebagai jalan ke arah filsafat.
v  Pikiran-pikiran Aristoteles dalam soal-soal fisika dan metafisika, meskipun Al-Kindi tidak sependapat dengan Aristoteles tentang qadimnya alam.
v  Pikiran-pikiran Plato dalam soal kejiwaan.
v  Pikiran-pikiran Plato dan Aristoteles bersama-sama dalam soal etika.
v  Wahyu dan iman (ajaran-ajaran agama) dalam soal-soal yang berhubungan dengan Tuhan dan sifat-sifatNya.
v Aliran Mu’tazilah dalam memuja kekuatan akal manusia dan dalam menakwilkan ayat-ayat Qur’an.
Haruslah diakui bahwa Al-Kindi tidak mempunyai sistem filsafat yang lengkap. Jasanya ialah karena dia adalah orang yang pertama-tama membuka pintu filsafat bagi dunia Arab dan diberinya corak Arab keislaman. Pendiri filsafat Islam yang sebenarnya ialah Al-Farabi.
  1. AL-FARABI

Ia adalah Abu Nashr Muhammad bin Muhammad bin Tharkhan. Sebutan Al-Farabi diambil dari nama kota Farab, dimana ia dilahirkan pada tahun 257 H (870 M). Ayahnya adalah seorang Iran dan kawin dengan seorang wanita Turkestan. Kemudian ia menjadi perwira tentara Turkestan. Karena itu, Al-Farabi dikatakan berasal dari keturunan Turkestan dan kadang-kadang juga dikatakan dari keturunan Iran.
Sejak kecilnya, Al-Farabi suka belajar dan ia mempunyai kecakapan luar biasa dalam lapangan bahasa. Bahasa-bahasa yang dikuasainya antara lain bahasa Iran, Turkistan, dan Kurdistan. Nampaknya ia tidak mengenal bahasa Yunani dan Siriani, yaitu bahasa-bahasa ilmu pengetahuan dan filsafat pada waktu itu.
Setelah besar, Al-Farabi meninggalkan negerinya untuk menuju kota Baghdad, pusat pemerintahan dan ilmu pengetahuan pada masanya, untuk belajar antara lain pada Abu Bisyr bin Mattius. Selama berada di Baghdad, ia memusatkan perhatiannya kepada ilmu logika.
Al-Farabi luas pengetahuannya, mendalami ilmu-ilmu yang ada pada masanya dan mengarang buku-buku dalam ilmu tersebut. Buku-bukunya, baik yang sampai kepada kita maupun yang tidak, menunjukkan bahwa ia mendalami ilmu-ilmu bahasa, matematika, kimia, astronomi, kemiliteran, musik, ilmu alam, ketuhanan, fiqih, dan mantik.
Sebagian besar karangan-karangan Al-Farabi terdiri dari ulasan dan penjelasan terhadap filsafat Aristoteles, Plato, dan Galenius, dalam bidang-bidang logika, fisika, etika, dan metafisika. Meskipun banyak tokoh filsafat yang diulas pikirannya, namun ia lebih terkenal sebagai pengulas Aristoteles.
Di antara karangan-karangannya ialah:
v      Aghradlu ma Ba’da at-Thabi’ah.
v      Al-Jam’u baina Ra’yai al-Hakimain (Mempertemukan Pendapat Kedua        Filosof; maksudnya Plato dan Aristoteles).
v      Tahsil as-Sa’adah (Mencari Kebahagiaan).
v     ‘Uyun al-Masail (Pokok-Pokok  persoalan).
v     Ara-u Ahl-il Madinah al-Fadhilah (Pikiran-Pikiran Penduduk Kota Utama Negeri Utama).
v      Ih-sha’u al-Ulum (Statistik Ilmu).
Menurut Dr. Ibrahim Madkour, filsafat Al-Farabi adalah filsafat yang bercorak spiritual-idealis, sebab menurut Al-Farabi, dimana-mana ada roh. Tuhannya adalah Roh dari segala Roh. Akal yang dikonsepsikannya yaitu ‘Uqul Mufariqah (akal yang terlepas dari benda) merupakan makhluk rohani murni, sedang kepala negeri- utamanya, menguasai badannya. Roh itu pula yang menggerakkan benda-benda langit dan mengatur alam di bawah bulan.*
Meskipun Al-Farabi telah banyak mengambil dari Plato, Aristoteles dan Plotinus, namun ia tetap memegangi kepribadian, sehingga pikiran-pikiranya tersebut merupakan filsafat Islam yang berdiri sendiri, yang bukan filsafat stoa, atau Peripatetik atau Neo Platonisme. Memeng bisa dikatakan adanya pengaruh aliran-aliran tersebut, namun bahannya yang pokok adalah dari Islam sendiri.


  1. IBNU SINA

Ibnu Sina dilahirkan dalam masa kekacauan, dimana Khilafah Abbasiyah mengalami kemunduran, dan negeri-negeri yang mula-mula berada di bawah kekuasaan khilafah tersebut mulai melepaskan diri satu persatu untuk berdiri sendiri. Kota Baghdad sendiri, sebagai pusat pemerintahan Khilafah Abbasiyah, dikuasai oleh golongan Bani Buwaih pada tahun 334 H dan kekuasaan mereka berlangsung terus sampai tahun 447 H.
Di antara daerah-daerah yang berdiri sendiri ialah Daulah Samani di Bukhara, dan di antara khalifahnya ialah Nuh bin Mansur. Pada masanya, yaitu di tahun 340 H (980 M), di suatu tempat yang bernama Afsyana, daerah Bukhara, Ibnu Sina dilahirkan dan dibesarkan. Di Bukhara ia menghafal Qur’an dan belajar ilmu-ilmu agama serta ilmu astronomi, sedangkan usianya baru sepuluh tahun. Kemudian ia mempelajari matematika, fisika, logika dan ilmu metafisika. Sesudah itu ia mempelajari ilmu kedokteran pada Isa bin Yahya, seorang Masehi.
Belum lagi usianya melebihi enam-belas tahun, kemahirannya dalam ilmu kedokteran sudah dikenal orang, bahkan banyak orang yang berdatangan untuk berguru kepadanya. Ia tidak cukup dengan teori-teori kedokteran, taoi juga melakukan praktek dan mengobati orang-orang sakit.
Sebenarnya hidup Ibnu Sina tidak pernah mengalami ketenangan, dan usianya pun tidak panjang. Meskipun banyak kesibukan-kesibukannya dalam urusan politik, sehingga ia tidak banyak mempunyai kesempatan untuk mengarang, namun ia telah berhasil meninggalkan berpuluh-puluh karangan.
Karangan-karangan Ibnu Sina yang terkenal ialah:
v     Asy-Syifa. Buku ini adalah buku filsafat yang terpenting dan terbesar dari Ibnu Sina, dan trediri dari enpat bagian, yaitu: logika, fisika, matematika, dan metafisika (ketuhanan).
v     An-Najat. Buku ini merupakan keringkasan buku as-Syifa, dan pernah diterbitkan bersama-sama dengan buku al-Qanun dalam ilmu kedokteran pada tahun 1593 M di Roma dan pada tahun 1331 M di Mesir.
v     Al-Isyarat wat-Tanbihat. Buku ini adalah buku terakhir dan yang paling baik, dan pernah diterbitkan di Leiden pada tahun 1892 M, dan sebagiannya diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis.
v     Al-Hikmat al-Masyriqiyyah. Buku ini banyak dibicarakan orang, karena tidak jelasnya maksud judul buku, dan naskah-naskahnya yang masih ada memuat bagian logika.
v     Al-Qanun, atau Canon of Medicine, menurut penyebutan orang-orang Barat. Buku ini pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan pernah menjadi buku standar untuk universitas-universitas Eropa sampai akhir abad ketujuhbelas Masehi.
Ibnu Sina memberikan perhatiannya yang khusus terhadap pembahasan kejiwaan, sebagaimana yang dapat kita lihat dari buku-buku yang khusus untuk soal-soal kejiwaan atau pun buku-buku yang berisi campuran berbagai persoalan filsafat.
Pengaruh Ibnu Sina dalam soal kejiwaan tidak dapat diremehkan, baik pada dunia piker Arab sejak abad kesepuluh Masehi sampai akhir abad ke-19 Masehi, terutama pada Gundissalinus, Albert the Great, Thomas Aquinas, Roger Bacon, dan Dun Scott. Bahkan juga ada pertaliannya dengan pikiran-pikiran Descartes tentang hakikat jiwa dan wujudnya.
Hidup Ibnu Sina penuh dengan kesibukan bekerja dan mengarang; penuh pula dengan kesenangan dan kepahitan hidup bersama-sama, dan boleh jadi keadaan ini telah mengakibatkan ia tertimpa penyakit yang tidak bisa diobati lagi. Pada tahun 428 H (1037 M), ia meninggal dunia di Hamadzan, pada usia 58 tahun.
  1. AL-GHAZALI
Ia adalah Abu Hamid bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali, bergelar Hujjatul Islam, lahir tahun 450 H di Tus, suatu kota kecil di Khurassan (Iran). Kata-kata al-Ghazali kadang-kadang diucapkan al-Ghazzali (dengan dua z). dengan menduakalikan z, kata-kata al-Ghazzali diambil dari kata-kata Ghazzal, artinya tukang pemintal benang, karena pekerjaan ayahnya ialah memintal benang wol, sedang al-Ghazali dengan satu z, diambil dari kata-kata Ghazalah, nama kampung kelahiran al-Ghazali. Sebutan terakhir ini yang banyak dipakai.
Al-Ghazali pertama-tama belajar agama di kota Tus, kemudian meneruskan di Jurjan, dan akhirnya di Naisabur pada Imam al-Juwaini, sampai yang terakhir ini wafat tahun 478 H/1085 M. kemudian ia berkunjung kepada Nidzam al-Mulk di kota Mu’askar, dan dari padanya ia mendapat kehormatan dan penghargaan yang besar, sehingga ia tinggal di kota itu  enam tahun lamanya. Pada tahun 483 H/1090 M, ia diangkat menjadi guru di sekolah Nidzamah Baghdad, dan pekerjaannya itu dilaksanakan dengan sangat berhasil. Selama di Baghdad, selain  mengajar, juga mengadakan bantahan-bantahan terhadap pikiran-pikiran golongan Bathiniyah, Isma’iliyyah, golongan filsafat dan lain-lain.
Pengaruh al-Ghazali di kalangan kaum Muslimin besar sekali, sehingga menurut pandangan orang-orang ahli ketimuran (Orientalis), agama Islam yang digambarkan oleh kebanyakan kaum Muslimin berpangkal pada konsepsi al-Ghazali.
Al-Ghazali adalah seorang ahli pikir Islam yang dalam ilmunya, dan mempunyai nafas panjang dalam karangan-karangannya. Puluhan buku telah ditulisnya yang meliputi berbagai lapangan ilmu, antara lain Teologi Islam (Ilmu Kalam), Hukum Islam (Fiqih), Tasawuf, Tafsir, Akhlak dan adab kesopanan, kemudian autobiografi. Sebagian besar dari buku-buku tersebut diatas dalam bahasa Arab dan yang lain ditulisnya dalam bahasa Persia.
Karyanya yang terbesar yaitu Ihya ‘Ulumuddin yang artinya “Menghidupkan Ilmu-Ilmu Agama”, dan dikarangnya selama beberapa tahun dalam keadaan berpindah-pindah antara Syam, Yerussalem, Hijjaz dan Tus, dan yang berisi tentang paduan yang indah antara fiqih, tasawuf dan filsafat, bukan saja terkenal di kalangan kaum Muslimin, tetapi juga di kalangan dunia Barat dan luar Islam.
Bukunya yang lain yaitu al-Munqidz min ad-Dlalal (Penyelamat dari Kesesatan), berisi sejarah perkembangan alam pikirannya dan mencerminkan sikapnya yang terakhir terhadap beberapa macam ilmu, serta jalan untuk mencapai Tuhan. Diantara penulis-penulis modern banyak yang mengikuti jejak al-Ghazali dalam menuliskan autobiografi.
Pikiran-pikiran al-Ghazali telah mengalami perkembangan sepanjang hidupnya dan penuh kegoncangan batin, sehingga sukar diketahui kesatuan dan kejelasan corak pemikirannya, seperti yang terlihat dari sikapnya terhadap filosof-filosof dan terhadap aliran-aliran akidah pada masanya.
Namun demikian, al-Ghazali telah mencapai hakikat agama yang belum pernah diketemukan oleh orang-orang  yang sebelumnya dan mengembalikan kepada agama nulai-nilai yang telah hilang tidak menentu. Jalan yang terdekat kepada Tuhan ialah jalan hati dan dengan demikian ia telah membuka pintu Islam seluas-luasnya untuk tasawuf.
Pengaruh al-Ghazali besar sekali di kalangan kaum  Muslimin sendiri sampai sekarang ini, sebagaimana juga di kalangan tokoh-tokoh pikir abad pertengahan bahkan juga sampai pada tokoh-tokoh pikir abad modern.
  1. IBNU BAJAH
Ia adalah Abubakar Muhammad bin Yahya, yang terkenal dengan sebutan Ibnus-Shaigh atau Ibnu Bajah. Orang-orang Eropa pada abad-abad pertengahan menamai Ibnu Bajah dengan “Avempace”, sebagaimana mereka menyebut nama-nama Ibnu Sina, Ibnu Gaberol, Ibnu Thufail dan Ibnu Rusyd, masing-masing dengan nama Avicenna, Avicebron, Abubacer, dan Averroes.
Ibnu Bajah dilahirkan di Saragosta pada abad ke-11 Masehi. Tahun kelahirannya yang pasti tidak diketahui, demikian pula masa kecil dan masa mudanya. Sejauh yang dapat dicatat oleh sejarah ialah bahwa ia hidup di Serville, Granada, dan Fas; menulis beberapa risalah tentang logika di kota Serville pada tahun 1118 M, dan meninggal dunia di Fas pada tahun 1138 M ketika usianya belim lagi  tua. Menurut satu riwayat, ia meninggal dunia karena diracuni oleh seorang dokter yang iri terhadap kecerdasan, ilmu, dan ketenarannya.
Buku-buku yang ditinggalkannya ialah:
v     Beberapa risalah dalam ilmu logika, dan sampai sekarang masih tersimpan di perpustakaan Escurial (Spanyol).
v     Risalah tentang jiwa.
v     Risalah al-Ittisal, mengenai pertemuan manusia dan akal-faal.
v     Risalah al-Wada’, berisi uraian tentang penggerak-pertama bagi manusia dan tujuan yang sebenarnya bagi wujud manusia dan alam.
v     Beberapa risalah tentang ilmu falak dan ketabiban.
v     Risalah Tadbir al-Mutawahhid.
v     Beberapa ulasan terhadap buku-buku filsafat, antara lain dari Aristoteles, al-Farabi, Porphyrus, dan sebagainya.
Menurut Carra de Vaux, di perpustakaan Berlin ada 24 risalah manuskrip karangan Ibnu Bajah.
Diantara karangan-karangannya itu yang paling penting ialah risalah Tadbir al-Mutawahhid yang membicarakan usaha-usaha orang yang menjauhi segala macam keburukan masyarakat, yang disebutnya Mutawahhid, yang berarti “penyendiri”. Isi risalah tersebut cukup jelas, sehingga memungkinkan kita dapat mempunyai gambaran tentang usaha si penyendiri tersebut untuk dapat bertemu dengan akal-faal dan menjadi salah satu unsur pokok bagi negeri idam-idamannya.
Ibnu Bajah telah memberi corak baru terhadap filsafat Islam di negeri Islam barat dalam teori ma’rifat (epistemology, pengetahuan), yang berbeda sama sekali dengan corak yang telah diberikan oleh al-Ghazali di dunia timur Islam, setelah ia dapat menguasai dunia pikir sepeninggal filosof-filosof Islam.
  1. IBNU THUFAIL
Ia adalah Abubakar Muhammad bin Abdul Malik bin Thufail, dilahirkan di Wadi Asy dekat Granada, pada tahun 506 H/1110 M. kegiatan ilmiahnya meliputi kedokteran, kesusasteraan, matematika dan filsafat. Ia menjadi dokter di kota tersbut dan berulangkali menjadi penulis penguasa negerinya. Setelah terkenal, ia menjadi dokter pribadi Abu Ya’kub Yusuf al-Mansur, khalifah kedua daru daulah Muwahhidin. Dari al-Mansur ia memperoleh kedudukan yang tinggi dan dapat mengumpulkan orang-orang pada masanya di istana Khalifah itu, di antaranya ialah Ibnu Rusyd yang diundang untuk mengulas buku-buku karangan Aristoteles.
Buku-buku biografi menyebutkan beberapa karangan dari Ibnu Thufail yang menyangkut beberapa lapangan filsafat, seperti filsafat fisika, metafisika, kejiwaan dan sebagainya, disamping risalah-risalah (surat-surat) kiriman kepada Ibnu Rusyd. Akan tetapi karangan-karangan tersebut tidak sampai kepada kita, kecuali satu saja, yaitu risalah Hay bin Yaqadhan, yang merupakan intisari pikiran-pikiran filsafat Ibnu Thufail, dan yang telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Suatu manuskrip di perpustakaan Escurrial yang berjudul Asrar al-Hikmat ai-Masyriqiyyah (Rahasia-rahasia Filsafat Timur) tidak lain adalah bagian dari risalah Hay bin Yaqadhan.
Ibnu Thufail tergolong filosof dalam masa Skolastik Islam. Pemikiran kefilsafatannya cukup luas, termasuk metafisika. Dalam pencapaian Ma’rifatullah, Ibnu Thufail menempatkan sejajar antara akal dan syari’at. Pemikiran tersebut sebenarnya merupakan upaya yang tidak pada tempatnya, sebab syari’at sumbernya adalah wahyu (yakni : dari Tuhan), sedangkan akal merupakan aktifitas manusiawi. Akal manusia sebenarnya hanyalah dampak mencari alasan rasional bagi syari’at mengenai dalil-dalil adanya Tuhan.
  1. IBNU RUSYD
Nama lengkapnya Abul Walid Muhammad bin Ahmad bin Rusyd, lahir di Cordova pada tahun 520 H. Ia berasal dari kalangan keluarga besar yang terkenal dengan keutamaan dan mempunyai kedudukan tinggi di Andalusia (Spanyol). Ayahnya adalah seorang hakim, dan kakeknya yang terkenal dengan sebutan “Ibnu Rusyd kakek” (al-Jadd) adalah kepala hakim di Cordova.
Ibnu Rusyd adalah seorang ulama besar dan pengulas yang dalam terhadap filsafat Aristoteles. Kegemarannya terhadap ilmu sukar dicari bandingannya, karena menurut riwayat, sejak kecil sampai tuanya ia tidak pernah terputus membaca dan menelaah kitab, kecuali pada malam ayahnya meninggal dan dalam perkawinan dirinya.
Karangannya meliputi berbagai ilmu, seperti: fiqih, ushul, bahasa, kedokteran, astronomi, politik, akhlak, dan filsafat. Tidak kurang dari sepuluh ribu lembar yang telah ditulisnya. Buku-bukunya adakalanya merupakan karangan sendiri, atau ulasan, atau ringkasan. Karena sangat tinggi penghargaannya terhadap Aristoteles, maka tidak mengherankan kalau ia memberikan perhatiannya yang besar untuk mengulaskan dan meringkaskan filsafat Aristoteles. Buku-buku lain yang telah diulasnya ialah buku-buku karangan Plato, Iskandar Aphrodisias, Plotinus, Galinus, al-Farabi, Ibnu Sina, al-Ghazali, dan Ibnu Bajah.
Buku-bukunya yang lebih penting dan yang sampai kepada kita ada empat, yaitu:
v     Bidayatul Mujtahid, ilmu fiqih. Buku ini bernilai tinggi, karena berisi perbandingan mazhabi (aliran-aliran) dalam fiqih dengan menyebutkan alasannya masing-masing.
v     Faslul-Maqal fi ma baina al-Hikmati was-Syari’at min al-Ittisal (ilmu kalam). Buku ini dimaksudkan untuk menunjukkan adanya persesuaian antara filsafat dan syari’at, dan sudah pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman pada tahun 1895 M oleh Muler, orientalis asal Jerman.
v     Manahijul Adillah fi Aqaidi Ahl al-Millah (ilmu kalam). Buku ini menguraikan tentang pendirian aliran-aliran ilmu kalam dan kelemahan-kelemahannya, dan sudah pernah  diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman, juga oleh Muler, pada tahun 1895 M.
v     Tahafut at-Tahafut, suatu buku yang terkenal dalam lapangan filsafat dan ilmu kalam, dan dimasukkan untuk membela filsafat dari serangan al-Ghazali dalam bukunya Tahafut al-Falasifah. Buku Tahafut at-Tahafut berkali-kali diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman, dan terjemahannya ke dalam bahasa Inggris oleh van den Berg yang terbit pada tahun 1952 M.
Ibnu Rusyd adalah tokoh pikir Islam yang paling kuat, paling dalam pandangannya, paling hebat pembelaannya terhadap akal dan filsafat, sehingga ia benar-benar menjadi filosof-pikiran dikalangan kaum Muslimin.
Pada garis besar filsafatnya, ia mengikuti Aristoteles dan berusaha mengeluarkan pikiran-pikirannya yang sebenarnya dari celah-celah kata-kata Aristoteles dan ulasan-ulasannya. Ia juga berusaha menjelaskan pikiran tersebut dan melengkapkannya, terutama dalam lapangan ketuhanan, di mana kemampuannya yang tinggi dalam mengkaji berbagai persoalan dan dalam mempertemukan antara agama dengan filsafat nampak jelas kepada kita.
Ketika hendak meninggal, beliau (Ibnu Rusyd) mengeluarkan kata-katanya yang terkenal:
“Akan mati rohku karena matinya filosof”.

KESIMPULAN

Dunia Islam telah berhasil membentuk suatu filsafat yang sesuai dengan prinsip-prinsip agama dan keadaan masyarakat Islam sendiri.
Nama Al-Kindi adalah merupakan nama yang diambil dari nama sebuah suku, yaitu : Banu Kindah. Banu Kindah adalah suku keturunan Kindah, yang berlokasi di daerah selatan Jazirah Arab dan mereka ini mempunyai kebudayaan yang tinggi.
Mengenai filsafat dan agama, Al-Kindi berusaha mempertemukan amtara kedua hal ini; Filsafat dan agama. Al-Kindi berpendapat bahwa filsafat adalah ilmu tentang kebenaran atau ilmu yang paling mulia dan paling tinggi martabatnya. Dan agama juga merupakan ilmu mengenai kebenaran, akan tetapi keduanya memiliki perbedaan.
Abu Nashr Muhammad bin Muhammad bin Tharkhan. Sebutan Al-Farabi diambil dari nama kota Farab, dimana ia dilahirkan pada tahun 257 H (870 M). Sebagian besar karangan-karangan Al-Farabi terdiri dari ulasan dan penjelasan terhadap filsafat Aristoteles, Plato, dan Galenius, dalam bidang-bidang logika, fisika, etika, dan metafisika. Meskipun banyak tokoh filsafat yang diulas pikirannya, namun ia lebih terkenal sebagai pengulas Aristoteles.
Di tahun 340 H (980 M), di suatu tempat yang bernama Afsyana, daerah Bukhara, Ibnu Sina dilahirkan dan dibesarkan. Di Bukhara ia menghafal Qur’an dan belajar ilmu-ilmu agama serta ilmu astronomi, sedangkan usianya baru sepuluh tahun. Kemudian ia mempelajari matematika, fisika, logika dan ilmu metafisika. Sesudah itu ia mempelajari ilmu kedokteran pada Isa bin Yahya, seorang Masehi.
Abu Hamid bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali, bergelar Hujjatul Islam, lahir tahun 450 H di Tus, suatu kota kecil di Khurassan (Iran). Al-Ghazali adalah seorang ahli pikir Islam yang dalam ilmunya, dan mempunyai nafas panjang dalam karangan-karangannya. Puluhan buku telah ditulisnya yang meliputi berbagai lapangan ilmu, antara lain Teologi Islam (Ilmu Kalam), Hukum Islam (Fiqih), Tasawuf, Tafsir, Akhlak dan adab kesopanan, kemudian autobiografi. Sebagian besar dari buku-buku tersebut diatas dalam bahasa Arab dan yang lain ditulisnya dalam bahasa Persia.
Abubakar Muhammad bin Yahya, yang terkenal dengan sebutan Ibnus-Shaigh atau Ibnu Bajah.
DAFTAR RUJUKAN
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Bulan Bintang, Jakarta : 1996Sudarsono, Ilmu Filsafat – Suatu Pengantar, Rineka Cipta, Jakarta : 2001

Makalah Tafsir Tentang Alam


BAB II
PEMBAHASAN AYAT
A.    Teks dan Terjemahan

uqèd Ï%©!$# šYn=y{ Nä3s9 $¨B Îû ÇÚöF{$# $YèŠÏJy_ §NèO #uqtGó$# n<Î) Ïä!$yJ¡¡9$# £`ßg1§q|¡sù yìö7y ;Nºuq»yJy 4 uqèdur Èe@ä3Î/ >äóÓx« ×LìÎ=tæ ÇËÒÈ

Dialah yang menciptakan untukmu segala yang ada di muka bumi; kemudian ia menciptakan langit dan disempurnakan-Nya menjadi tujuh dan Dia atas atas segala sesuatu Maha Mengetahui

B.     Makna  Mufradat
uqtGó$# maksudnya adalah bermaksud menciptakan langit. istawa yakni i'tadala ;lurus dan lelaki yang telah mencapai kematangan atau 40 tahun, dan istawa ila as sama yakni  bermakna shoida; naik,-amida; menuju,-qosoda; bermaksud atau bermakna aqbala: menghadap atau bermakna istaula; menguasai
£`ßg1§q|¡sù maksudnya adalah dia menciptakan langit tujuh lapis.
;Nºuq»yJy ìö7y ‎‎"Sab'a Samawat" berarti bahwa Allah membentangkan langit yang berlapis ‎tujuh. Ketujuh langit itu diciptakan berdasarkan pengelolaan dan pengaturan yang sangat cermat, yang ‎Dia ciptakan untuk kepentingan manusia. Tujuh langit, yang berdasarkan ‎ayat-ayat lain, langit yang dapat disaksikan oleh mata manusia ini disebut ‎sebagai Sama' udunya, artinya langit yang terendah

C.    Munasabah Ayat
            Munasabah Q.S  Al-Baqarah ayat 29 dengan ayat sebelumnya yaitu ayat 28 adalah ini ia mengimbau makhluk-Nya agar meninjau perasaan mereka sendiri yang subjektif. Ia telah menciptakan kita menjadi ada. Rahasia hidup dan mati ada ditangan-Nya. Kita dari Dia, dan kepada-Nya kita kembali. Lihatlah ke sekitar kita dan kita akan mengerti martabat kita sendiri: itu dari Dia. Kedalam dan keluasan ruang angkasa diatas dan disekeliling kita yang tak terduga, akan sangat membingungkan kita. Itu adalah sebagian dari rencana-Nya yang begitu teratur dan sempurna, karena ilmun-Nya (tidak seperti ilmu kita) Maha luas.[1] Sedangkan munasabah surah Al-Baqarah ayat 30 bahwa alam seah mesta yang diciptakan semata-mata diperuntukkan untuk manusia dan Allah SWT hendak menjadikan manusia itu untuk menjadi khalifah di bumi untuk menjaga dan memelihara apa yang ada di bumi. Namun malaikat berkata mengapa engkau menciptakan khalifah yang hanya akan membuat kerusakan sedangkan kami selalu memuji dan bertasbih kepada mu, namun Allah SWT mengatakan sesungguhnya Aku mengetahui apa yang engkau ketahui, jadi pernyataan tersebut bisa kita simpulkan bahwa alam semesta memang diciptkan untuk manusia karena manusia memiliki potensi untuk menerima amanah itu karena manusia memiliki akal, dengan akal itu manusia dapat mengelolah dan menjaga alam semesta ini.
D.    Kandungan Ayat
            Dalam tafsir Ibnu Khatsir Allah memulai dengan menciptakan bumi, baru kemudian menciptakan langit tujuh lapis. ( Hal ini berdasarkan pendapat bahwa huruf ‘athaf (NèO) meng’athafkan fi’il kepada fi’il, yaitu meng’athafkan istawaa kepada khalaqa). Begitulah awal mula mendirikan bangunan. Dimulailah dari membangun dasar (pondasi)nya baru kemudian bagian atasnya.
Para ahli tafsir telah menjelaskan dengan gambling tentang masalah ini sebagaimana akan kami sebutkan, insya Allah. Adapun firman Allah Ta’ala: ÷LäêRr&uä x©r& $¸)ù=yz ÏQr& âä!$uK¡¡9$# 4 $yg8oYt/ ÇËÐÈ   yìsùu $ygs3ôJy $yg1§q|¡sù ÇËÑÈ   |·sÜøîr&ur $ygn=øs9 ylt÷zr&ur $yg9ptéÏ ÇËÒÈ   uÚöF{$#ur y÷èt/ y7Ï9ºsŒ !$yg8ymyŠ ÇÌÉÈ   ylt÷zr& $pk÷]ÏB $yduä!$tB $yg8tãötBur ÇÌÊÈ   tA$t7Ågø:$#ur $yg9yör& ÇÌËÈ   $Yè»tGtB ö/ä3©9 ö/ä3ÏJ»yè÷RL{ur ÇÌÌÈ  
27. (Wahai golongan Yang ingkarkan kebangkitan hidup semula!) Kamukah Yang sukar diciptakan atau langit? Tuhan telah membinanya (dengan Kukuh)!
28. ia telah meninggikan bangunan langit itu lalu menyempurnaKannya,
29. dan ia menjadikan malamnya gelap-gelita, serta menjadikan siangnya terang-benderang. sesudah itu
30. dan bumi dihamparkannya (untuk kemudahan penduduknya), -
31. ia mengeluarkan dari bumi itu: airnya dan tumbuh-tumbuhannya;
32. dan gunung-ganang pula dikukuhkan letaknya (di bumi, sebagai pancang pasak Yang menetapnya);
33. (semuanya itu) untuk kegunaan kamu dan binatang-binatang ternak kamu.

Pendapat lain mengatakan bahwa kata (summa) disini (dalam kalimat (summatawa’ ilassamaai) fungsinya adalah ‘athaf khabar kepada ipkhabar (artinya, pengabaran penciptaan bumi di dahulukan daripada pengabaran penciptaan langit. Adapun penciptaannya sendiri, mungkin langit terlebih dahulu atau bumi), bukan ‘athaf fi’il kepada fi’il. Demikian yang diriwayatkan oleh ‘Ali bin Abi Thalhah dari Abdullah bin ‘Abbas.

Dia’lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu.
Mujahid mengatakan: “Allah menciptakan bumi sebelum langit. Dan setelah menciptkan bumi, membumbunglah asap darinya (bumi), dan itulah makna firman Allah:  “Kemudian Dia bermaksud (menciptakan) langit dan langit itu masih merupakan asap.” (Q.S Fushshilat: 11)

Lalu dijadikan-Nya tujuh langit,” Mujahid berkata: “Sebagian langit berada di atas sebagian lainnya. Dan sebagian bumi berada dibawah sebagian lainnya.”

            Ayat ini menunjukkan bahwa bumi diciptakan sebelum langit, sebagiamana firman Allah dalam surat Fushshilat diatas. Dengan demikian ayat-ayat ini merupakan dalil bahwa bumi diciptakan lebih dulu daripada langit. Dalam Shahiih al-Bukhari disebutkan bahwa ‘Abdullah bin ‘Abbas ditanya tentang masalah ini. Beliau menjawab bahwa bumi diciptakan sebelum langit. Namun bumi baru dihamparkan setelah langit diciptakan.[2]

            Demikian pula jawaban beberapa orang ulama tafsir terdahulu maupun sekarang. Kami telah menjelaskannya lebih terperinci dalam tafsir surat an-Naazi’aat. Kesimpulannya, penghamparan bumi ini telah ditafsirkan dengan firman Allah:
uÚöF{$#ur y÷èt/ y7Ï9ºsŒ !$yg8ymyŠ ÇÌÉÈ   ylt÷zr& $pk÷]ÏB $yduä!$tB $yg8tãötBur ÇÌÊÈ   tA$t7Ågø:$#ur $yg9yör& ÇÌËÈ  
Dan bumi setelah itu dihamparkan-Nya, ia memancarkan darinya mata airnya, dan (menumbuhkan) tumbuh-tumbuhannya. Dan gunung-gunung dipancangkan-Nya dengan teguh.” (Q.S An-Naazi’aat:30-32)
            Penghamparan dalam ayat ini ditafsirkan dengan dikeluarkannya apa-apa yang sebelumnya disimpan dari bentuk potensi kepada pemanfaatannya. Setelah disempurnakannya bentuk makhluk di bumi kemudian dilangit, barulah bumi dihamparkan. Lalu dikeluarkanlah apa-apa yang sebelumnya tersimpan di dalamnya, berupa air. Lalu tumbuhlah tanam-tanaman dengan berbagai macam jenisnya, sifatnya, warna dan bentuknya.















BAB III
PEMBAHASAN
A.    Makna dari QS.AL-BAQARAH : 29
           Menurut tafsir Zhilalil Qur’an: Bahwa banyak ahli ilmu kalam di sini yang membicarakan penciptaan bumi dan langit, yang membahas keadaan sebelum dan sesudahnya. Mereka membicarakan istiwa’( pada lafal istawaa) dan taswiyah (pada lafal sawwaa), dan mereka lupa bahwa qablu ‘sebelum’ dan ba’du ‘sesudah’ adalah dua istilah bahasa yang mendekatkan gambaran yang tak terbatas kepada persepsi manusia yang yang terbatas dan tidak lebih dari itu.
         Dan, tidaklah terjadi perdebatan ilmu kalam di antara para ulama muslimin seputar ungkapan-ungkapan Al-Qur’an ini melainkan sebagai bencana yang ditimbulkan oleh filsafat Yunani dan pembahasan Teologis di kalangan kaum Yahudi dan Nasrani, ketika telah bercampur aduk dengan pemikiran Arabiyah yang murni dan pemikiran islam yang jernih. Dan, kita sekarang tidak perlu terlibat di dalam bencana ini, karena akan dapat merusak keindahan akidah dan keindahan Al-Qur’an dengan persoalan-persoalan ilmu kalam.
       Karena itu, hendaklah kita ringkaskan saja apa yang ada di balik ungkapan-ungkapan ini, yang berupa hakikat yang mengesankan tentang penciptaan segala sesuatu di bumi untuk seluruh manusia, serta petunjuk hakikat ini atas tujuan diwujudkannya manusia, peranannya yang besar di dunia, nilainya di dalam timbangan Allahm dan apa yang ada dibalik semua ini yang berupa pengakuan tentang nilai manusia menurut persepsiIslam, dan di bawah tatanan ,asyaraat Islam.
Dialah yang menjadikan segala yang ada di bumi untut kamu…
            Perkataan “untuk kamu” memiliki makna yang dalam dan memiliki kesan yang dalam pula. Ini merupakan kata pasti yang menetapkan bahwa Allah menciptakan manusia ini untuk urusan yang besar. Diciptakannya mereka untuk menjadi khalifah di bumi, menguasainya dan mengelolahnya. Mereka adalah makhluk tertinggi di dalam kerjaan yang terhampara luas ini, dan merekalah majikan pertama dengan warisan yang banyak ini, pernannya didalam berinofasi dan mengembangkannya merupakan peranan utama. Mereka adalah sayyid (tuan, majiakan) bagi bumi serta majikan bagi alat dan sarana. Mereka bukan alat bagi alat itu sebagaimana yang terjadi dalam dunia materialis sekarang. Dan, mereka tidak mengikuti perkembangan yang ditimbulkan oleh alat-alat itu dalam hubungan antara manusia dan peraturan yang dibuatnya, unkuk sebagaimana anggapan para pendukung materialisme yang buta hati itu, yang melemahkan peranan dan kedudukan manusia, yang menjadikan manusia harus mengikuti alat yang keras itu, padahal mereka adalah sayyid (tuan, majikan) yang mulia.
        Setiap nilai material (benda) tidak boleh mengalahkan nilai manusia, tidak boleh merendahkannya, tidak boleh mengecilkannya dan tidak boleh mengunggulinya. Dan, segala sesuatu yang bertujuan mengecilkan nilai manusia, bagaiamana pun wujud kelebihan materi itu, adalah tujuan yang bertentangan dengan diadakannya manusia itu sendiri. Maka, kemualiaan manusia itulah yang pertama, ketinggian manusia itulah yang pertama baru sesudah itu datanglah nilai-nilai kebendaan yang tunduk mengikutinya.
         Nikmat yang diberikan kepada manusia disini mengingkari kekafiran mereka terhadap nikmat itu bukan semata-mata pemberian kenikmatan dengan segala sesuatu yang ada dibumi saja. Akan tetapi, lebih dari itu adalah penguasaan mereka atas segala sesuatu yang ada dibum itu, dan diberinya mereka nilai yang lebih tinggi dari pada nilai-nilai kebendaan yang dikandung oleh bumi ini. Itulah nikmat pengangkatanny sebagai khalifah dan kehormatan yang melebihi nikmat pemilikan dan pemanfaatan yang besar ini.
Kemudian dia istiwa’ (berkehendak menuju) kelangit, lalu dia sawwa (menciptakan) tujuh langit.”
        Tidak ada lapangan untuk memperdebatkan makna istiwa’ karena ia hanya lambing kekuasaan dan kehendak untuk menciptakan serta membuat. Demikian pula tidak ada lapangan untuk meperbedakan makna langit tujuh yang dimaksudkan disini, tidak perlu meperbedakan batas-batas bentuk dan jangkauannya. Kita cukupkan dengan tujuan umum nash ini, dan pengingkaranya terhadap ke khalifah manusia kepada sangan Maha Pencipta, yang Maha Memelihara yang berkuasa atas alam ini, yang telah menundukkan bumi dengan segala isinya, dan mengatur langit dengan segala sesuatu untuk menjadikan kehidupan di  bumi dapat berjalan dengan menyenangkan.
Dan, Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.
      Karena Dia pencipta segala sesuatu, yang mengatur segala sesuatu. Dan, jangkauan penghubungnya yang menyeluruh ini sama dengan jangkauan-Nya yang mengaturnya. Hal ini mendorong keimanan Tuhan Yang Maha Pencipta lagi Maha Esa, memoifasi beribadah kepada sang Maha Pengatur Yang Esa dan beribadah kepada Yang Maha Meberi rezeki dan Maha Memberi nikmat saja merupakan peng-akuan yang indah terhadap-Nya.
B.     Pelestarian Alam Menurut Islam
Allah Swt menyatakan  dalam  Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 30 bahwa manusia  diciptakan untuk menjadi khalifah. Sebagai khalifah, manusia memiliki tugas dan tanggung jawab untuk ikut merawat, memelihara dan melestarikan berbagai fasilitas alam yang telah disediakan oleh Allah Swt untuk manusia. Pendidikan lingkungan telah diajarkan oleh Rasulullah saw kepada para sahabatnya. Allah Swt berfirman tentang dimensi alam semesta dalam Qs. Al-Hadid: 4, “Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa; kemudian Dia bersemayam diatas ‘Arsy. Dia mengetahui apa yang masuk kedalam bumi dan apa yang keluar daripadanya, dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia bersama kamu dimana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
Dalam ayat ini Allah memaparkan bahwa secara makro alam semesta berpusat pada dua tempat, yaitu langit dan bumi. Hanya saja dalam wacana alam, situasi di bumi menjadi obyek dominan. Oleh karena itu, Ayat Al-Quran dalam bagian lain mengilustrasikan kondisi bumi dan segala isinya dengan corak dan keberagaman yang ada.
Allah menggariskan takdirNya atas bumi dengan fasilitas terbaik bagi semua penghuni bumi. DiciptakanNya laut yang sangat luas dengan segala kekayaan di dalamnya. Air hujan menghidupkan bumi setelah masa keringnya. Belum cukup dengan semua itu, Allah memperindah kehidupan di muka bumi dengan menciptakan hewan, tumbuhan, angin, dan awan di angkasa, sebagai teman hidup manusia.
Setelah selesai dengan segala penciptaanNya, Allah memberikan sebuah titipan amanat kepada manusia dalam Qs. Al-A’raf: 56, “Dan janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi ini setelah Allah memperbaikinya”.
Manusia diminta untuk menjaga agar apa yang menjadi kekayaan alam tersebut tetap lestari dan terus dapat dinikmati oleh manusia. Caranya dengan memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan alam serta menjauhkan diri dari hal-hal yang dapat merusak alam semesta ini.



Adapun, kami telah merampung beberapa hal yang perlu kita lakukan untuk melestarikan alam menurut perspektif Islam :
1.      Tidak mengganggu kehidupan liar tanpa alasan yang benar
Kita sebagai seorang muslim, seharusnya selalu menjaga keamanan dan kedamaian di bumi. Baik itu untuk sesame manusia, maupun kepada makhluk-makhluk Allah lainnya seperti hewan dan tumbuhan. Kita tidak boleh mengganggu kehidupan liar yang ada di alam ini tanpa alasan yang benar dikarenakan sudah pasti akan menimbulkan masalah pada akhirnya bagi kelangsungan hidup manusia.
2.      Islam mengajarkan pemeluknya untuk memperlakukan alam dengan ramah
Dari Jabir ra bahwa Nabi saw bersabda, “Siapa yang mengolah tanah mati, dia mendapatkan pahala. Apapun yang dimakan oleh makhluk hidup dari hasil olahannya bernilai sedekah bagi dia.”(Shahih Ibnu Hibban).
Betapa sungguh Islam mengajarkan pemeluknya untuk selalu bersikap ramah untuk memperlakukan apa saja yang ada di Alam ini. Apabila kita menerapkan hal ini dalam kehidupan kita, maka Allah akan membalas kebaikan kita dengan sesuatu yang lebih di akhirat kelak.
3.      Memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan alam serta menjauhkan diri dari hal-hal yang dapat merusak alam semesta ini.
4.      Tidak melakukan explorasi alam secara berlebihan.
Allah memperbolehkan manusia untuk memanfaatkan segala apa yang ada di bumi untuk memenuhi segala kebutuhan manusia tentunya. Namun yang perlu di garis bawahi disini adalah pemanfaatan yang terkontrol, jangan sampai kita termasuk orang-orang yang lalai dan rakus terhadap sesuatu misal dalam memanfaatkan alam yang secara berlebihan dengan tidak memperhatikan situasi dan kondisi alam.
5.      Nabi Muhammad saw menganjurkan umatnya untuk mengolah tanah, tidak membiarkannya gersang.
Islam juga mengatur masalah pemanfaatan lahan yang dimana bagi setiap pemilik lahan pastinya harus menerapkan hal ini, yaitu tidak mengelantarkan lahan. Seharusnya bila seorang pemilik lahan yang mempunyai lahan yang terbengkalai mungkin dikarenakan tidak adanya kesempatan dalam memanfaatkannya atau si pemilik lahan belum mengetahui pasti hukum mengelantarkan lahan, maka perlu untuk mengetahui bahwa bila mengelantarkan lahan adalah  berdosa karena sama saja dia telah melakukan sebuah kerusakan dengan tidak memanfaatkannya secara maksimal.
6.      Tidak membuang sampah pada sembarang tempat.
Dalam sabda Rasulullah SAW: ”Kebersihan Sebagian Dari Iman”, ini adalah penegasan dalam al-Hadist. Maka dari itulah seorang muslim diwajibkan untuk selalu menjaga kebersihan lahir ataupun batin. Tentunya bila kita membuang sampah pada sembarang tempat maka dampaknya pasti akan merusak alam atau linkungan yang ujung-ujungnya juga menjadi dampak buruk bagi manusia. Seperti bila selalu membuang sampah di sungai, maka akan terjadi pencemaran air dan bisa juga terjadi banjir bandang. Oleh karena itu, kita sebagai khalifah di bumi harus bisa selalu menjaga kebersihan untuk memenuhi amanat yang diberikan Allah kepada manusia untuk menjaga alam semesta ini.


BAB IV
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas yang berjudul Ayat-ayat tentang Penciptaan Alam dalam surah Al-Baqarah ayat 28 sampai 29, kita dapat menyimpulkan bahwa :
1.      Manusia lebih mulia dibanding seluruh yang ada di bumi dan langit, bahkan ‎ia merupakan tujuan penciptaan semua itu. ‎
2.      Alam semesta ini tidaklah tercipta dengan sendirinya, namun ada yang menciptakan yaitu Allah SWT.
3.      Alam semesta ini berpusat pada dua tempat, yaitu langit dan bumi.
4.      Segala apa yang diciptakan oleh Allah Swt baik itu yang meliputi sesuatu yang ada di bumi, mulai dari timur ke barat, selatan keutara, darat dan laut bumi dan langit pasti memiliki maksud dan manfaat bagi manusia.

B.     Saran
Allah Menjadikan manusia sebagai khalifah di dunia yang merupakan sebuah amanah yang sangat besar, oleh karena itu diharapkan kita sebagai manusia yang memiliki akal fikiran untuk dapat menjalankan amanah ini yaitu dengan menjaga dan mengelolah alam semesta dengan sebaik-baiknya.







DAFTAR PUSTAKA
Al-Mubarakfuri, Syaikh Shafiyyurrahman. Al Mishbaahul Muniir Fii Tahdziibi Tafsiiri Ibnu Katsir jilid 15. Jakarta: Pustaka.
Shihab, M. Quraish. 2000. Al Misbah: pesan, kesan dan keserasian Al-Quran. Jakarta. Lentera Hati.
Quthb, Sayyid. 2000. Tafsir Fi Zhilali Quran jilid 1. Jakarta: Darusy-Syuruq, Beruit.




[1] Abdullah Yusuf Ali, Qur’an Terjemahan dan Tafsirnya, Cetakan 1. Juz I s/d XV, Jakarta:Pustaka Firdaus,1993 Hal. 23
[2] Tafsiir ath-thabari(I/436).