Rabu, 10 Juli 2013

Makalah Tafsir Tentang Masyarakat


BAB II
PENJELASAN AYAT
A.    Teks dan Terjemahan Ayat
y7Ï9ºsŒ  cr'Î/ ©!$# öNs9 à7tƒ #ZŽÉitóãB ºpyJ÷èÏoR $ygyJyè÷Rr& 4n?tã BQöqs% 4Ó®Lym (#rçŽÉitóム$tB öNÍkŦàÿRr'Î/   žcr&ur ©!$# ììÏJy ÒOŠÎ=tæ
“(siksaan) yang demikian itu adalah Karena Sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan mengubah sesuatu nikmat yang Telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu mengubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri, dan Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS. Al-Anfal 8 : 53)[1]

B.     Makna Mufradat
Ø  Kata (ذلِكَ)  yang demikian itu disiksa-Nya orang-orang kafir.
Ø  Kata(بِاَنَّ) disebabkan karena.[2]
Ø  Kata (لم يك) lam yaku/tidak akan pada mulanya berbunyi (لم يكن) lam yakun. Pengaruh huruf nun itu untuk mempersingkat, sekaligus mengisyaratkan bahwa peringatan dan nasehat yang dikandung ayat ini hendaknya segera disambut dan jangan diulur-ulur karena mengulur dan memperpanjang hanya mempercepat siksa. Demikian yang kesan yang diperoleh al-Biqa’i.[3]
Ø  Kata (نعمة) ni’mat dalah bentuk dari kata kerja (نعمه) na’imah, (ينعم) yan’imu,  (نعمة ومنعم) ni’matan wa man’ aman. Menurut Ibnu Faris, kata na’ima berakar pada huruf-huruf (نون) nun, (عين) ain, dan (ميم) mim. Yang mengandung makna pokok “kelapangan” dan “kehidupan yang baik”. Kata ini juga bermakna segala sesuatu yang deberikan seperti rezqi, harta atau lainnya”. Al-Asfahani menulis bahwa pengertian asal dari kata ni’mat adalah ‘kelebihan’ atau pertambahan, seperti ketika Anda yang tadinya tidak memiliki sesuatu kemudian memperoleh sesuatu itu. Inilah yang dimaksud dengan ‘penambahan’ atau ‘kelebihan’ jika dilahat dari Anda sebelumnya. Ini pula yang dinamai oleh bangsa agama sebagai ni’mat.
Ø  Penggunaan  kata (قوم) qaum/kaum juga menunjukkan bahwa hukum kemasyarakatan  ini tidak hanya tidak hanya berlaku bagi kaum muslimin atau satu suku, ras, dan penganut agama tertentu, tetapi ia berlaku umum, kapan, dan di mana pun itu berada.[4]
Ø  Al-Qur’an menjelaskan bahwa manusia memiliki sisi dalam yang dinamai (نفس) nafs/diri bentuk jamaknya (أنفس) anfus dan juga manusia mempunyai sisi luar yang dinamainya antara lain () jism/badan yang dijamak () ajsam. Sisi dalam tidak selalu sama dengan sisi luar.[5]


C.    Munasabah Ayat
1.      Dalam (QS. Ar-Ra’ad : 11) menjelaskan keterkaitan  ayat di atas tentang kata (لم يك) tidak akan.
¼çms9 ×M»t7Ée)yèãB .`ÏiB Èû÷üt/ Ïm÷ƒytƒ ô`ÏBur ¾ÏmÏÿù=yz ¼çmtRqÝàxÿøts ô`ÏB ̍øBr& «!$# 3 žcÎ) ©!$# Ÿw çŽÉitóム$tB BQöqs)Î/ 4Ó®Lym (#rçŽÉitóム$tB öNÍkŦàÿRr'Î/ 3 !#sŒÎ)ur yŠ#ur& ª!$# 5Qöqs)Î/ #[äþqß Ÿxsù ¨ŠttB ¼çms9 4 $tBur Oßgs9 `Ïi`B ¾ÏmÏRrߊ `ÏB @A#ur
“Baginya (manusia) ada malaikat-malaikat yang selalu menjaganya bergiliran, dari depan dan belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.                                                                                                                  
(QS. Ar~Ra’ad:11)                                                                                      

Ayat ini serupa dengan firman-Nya: “sesungguhnya Allah tidak akan mengubah apa yang terdapat pada suatu kaum/masyarakat sampai mereka mengubah apa yang terdapat dalam  diri mereka.”(QS. Ar-Ra’d (13) : 11)
Kedua ayat tersebut, ayat pembahasan ini dan ayat ar-Ra’d itu berbicara tentang perubahan, tetapi ayat pertama berbicara tentang perubahan nikmat, sedangkan ayat ar-Ra’d menggunakan kata (م) ma/apa sehingga mencakup perubahan apa pun, yakni baik dari nikmat/positif menuju nikmat murka Ilahi/negatif maupun dari negatif ke positif.
Ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi menyangkut kedia ayat di atas berbicara  tentang perubahan sosial yang berbicara tentang hukum-hukum kemasyarakatan, bukan menyangkut orang per orang atau individu. Ini dipahami dari penggunaan kata kaum/masyarakat pada kedua ayat tersebut.
            Karena itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa perubahan sosial tidak dapat dilakukan oleh seorang manusia saja. Memang, boleh saja perubahan bermula dari seseorang yang ketika ia melontarkan dan menyebarluaskan ide-idenya ia baru sendirian, tetapi perubahan baru terjdi bila ide yang disebarluaskannya menggelinding dalam masyarakat. Pola pikir dan sikap perorangan itu “menular” kepada masyarakat luas, sedikit demi sedikit, kemudian “mewabah” kepada masyarakat luas.[6]
2.      Dalam (QS. Maryam 19 : 95) dijelaskan keterkaitan tentang ayat di atas mengenai kata (قوم) kaum.
öNßg=ä.ur ÏmÏ?#uä tPöqtƒ ÏpyJ»uŠÉ)ø9$# #·Šösù
“Dan setiap orang dari mereka akan datang kepada Allah sendiri-sediri pada Hari Kiamat.”

Karena ayat pembahasan tersebut berbicara tentang kaum, ini berarti bahwa ketetapan atau sunnahtullah yang dibicarakan ini berkaitan dengan duniawi, bukan ukhrawi. Hal ini mengantar kita berkata bahwa ada pertanggungjawaban yang bersifat pribadi, dan ini akan terjadi di akhirat kelak. Berdasrkan dalam (QS. Maryam : 95).
3.      Dalam (QS. al-anfal : 25) juga menjelaskan kaitan ayat tersebut mengenai kata (قوم) kaum.
(#qà)¨?$#ur ZpuZ÷FÏù žw ¨ûtùÅÁè? tûïÏ%©!$# (#qßJn=sß öNä3YÏB Zp¢¹!%s{ ( (#þqßJn=÷æ$#ur žcr& ©!$# ߃Ïx© É>$s)Ïèø9$# 
hindarilah cobaan yang tidak hanya menimpa secara khusus orang-orang yang berlaku aniaya di antara kamu, dan ketahuilah bahwa sesunggunya Allah sangat pedih pembalasan-Nya” (QS. al-anfal : 25)


D.    Kandungan Ayat
            Dari satu sisi menetapkan keadilan Allah di dalam memperlakukan manusia. Sehingga., tidak dicabutNya dari mereka kenikmatan yang diberikanNya kepada mereka kecuali sesudah mereka mengubah niat mereka, mengubah perilaku dan sikapnya, dan membolak-balikkan aturanya. Jika demikian, sudah sepantasnya Allah mengubah nikmat yang diberikanNya kepada mereka sebagai ujian dan cobaan. Pasalnya, mereka tidak mempergunakannya secara wajar dan tidak mensyukurinya.
            Dari sisi lain, Allah memuliakan makhluk yang bernama manusia ini dengan penghormatan sedemikian besar. Yakni, dengan memberlakukan takdirNya sejalan dengan gerak dan tindakan manusia itu sendiri. Dan dari sisi ketiga, memberikan tanggung jawab atas penghormatan yang demikian besar ini. Maka, manusia dapa melestarikan nikmat Allah atas mereka itu dan dapat menjadikannya ditambah oleh Allah, jika mereka mengakui dan mensyukurinya. Hal ini sebagaimana mereka juga dapat melenyapkan nikmat tersebut manakala mereka mengingkarinya dan menyombongkan diri, menyelewengkan hati dan langkah-langkahnya.
            Hakikat besar ini mencerminkan satu sisi dari sisi-sisi “tashawwur islami terhadap hakikat manusia”, dan hubungan qadar Allah dengannya di alam wujud ini. Juga hubungannya dengan alam semesta dan hukum yang berlaku padanya. Dari sisi ini, tampak jelaslah harkat manusia ini dalam timbangan Allah, dan betapa Allah memuliakannya dengan memberikan harta semacam ini. Hal ini sebagaiman juga tampak sejauh mana potensi manusia unutk melakuakn sesuatu dengan segala akibat yang bakal menimpa dirinya dan apa yang ada disekitarnya.[7]
Hakikat ini juga menggambarkan adanya hubungan kelaziman antara tindakan dan perbuatan di dalam kehidupan dan aktivitas manusia. Juga menggambarkan keadilan Allah yang mutlak di dalam menjadikan kelaziman ini sebagai salah satu sunnahNya di dalam memberlakukan qadarNya yang dianiaya
Allah menyiksa orang-orang Quraisy karena mereka mengingkari nikmat-nikmat Allah, ketika Allah mengutus seorang rasul dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan ayat ayatnya, lalu mereka mendustakan, bahkan mengusirnya dari negerinya, lalu memerangi secara bertubi-tubi. Allah menyiksa mereka karena dosa-dosanya. Yang demikian ini membuktikan Sunnatullah yang telah berlaku sejak duhulu. Allah tidak merubah suatu nukmat yang telah berlaku sejak dahulu. Allah tidak merubah suatu nikmat yang telah dianugrahkan-Nya kepadase suatu, sehinggah kaum itu mengubah apa yang ada pada diri merkasendiri. Ayat ini mengandung isyarat, bahwa nikmat-nikmat pemberian Allah itu yang diberikan kepada umat atau perorangan, selalu dikaitkan kelangsungannya dengan akhlak dan amal mereka mereka itu sendiri. Jika akhlak dan prbuatan mereka terpelihara baik, maka nikmat pemberian Allah itupun tetap berada pada bersama mereka dan tidak akan dicabut. Akan tetapi manakala mereka sudah merubah nikmat-nikmat itu yang berbentuk akidah, akhlak dan perbuatan baik, maka Allah ta’ala akan meroboh keadaan mereka dan akan dicabut nikmat pemberian-Nya dari mereka sehingga yang kaya jadi miskin yang mulia jadi hina dan yang kuat jadi lemah. Dan bukanlah sekali-kali kebahagiaan umat itu dikaitkan dengan kekayaan atau jumlah bilangan yang banyak seperti disangka oleh sebagian besar kaum musyrikin yang diceritakan oleh Allah dengan mengubah. [8]















BAB III
Perubahan Masyarakat dalam QS. Al-Anfal 8 : 35
Perubahan manusia yang dimaksud dalam QS. Al-Anfal 8 : 35 adalah mengubah niat mereka, mengubah perilaku dan sikapnya yang tidak mengelolah nikmatNya dengan baik. Atas niat mereka yang tidak baik terhadap nikmat Allah yang diberikan kepada mereka tidak dipergunakan secara wajar dan tidak mensyukurinya. Dengan niat mereka mempergunakan nikmat itu untuk memerangi kaum muslimin dan ketidak kepatuhan mereka dengan perintah yang diberikan Allah dengan mengingkari ayat-ayatNya.
Perilaku mereka terhadap nikmat yang diberikan Allah SWT kepada mereka di muka bumi dan telah menjadikan mereka khalifahNya. Semua ini diberkan kepada manusia sebagai ujian dan cobaan. Dengan tujuan untuk menilai mereka, apakah mereka mau memperlakukan nikmat dengan baik. Ternyata perilakuan mereka terhadap nikmat itu justru menyombongkan diri dengan nikmat yang diberikan kepada merek itu.  Mereka terpedaya oleh nikmat dan kekuatan itu lantas menjadi sewenang-wenang, melampaui batas, kafir dan durhaka.
Sedangkan sikap mereka terhadap nikmat Allah sangat melampaui batas kafir dan ayat-ayat Allah pun didatangkan kepada mereka, tetapi mereka mengkufurinya. Pada waktu itu, berlakulah terhadap mereka sunnah Allah terhadap orang-orang kafir sesudah sampai kepada mereka aya-ayatNya, tetapi mereka mengingkarinya. Pada waktu itu berubalah kedaan mereka dengan mengubah nikmat Allah menjadi yang kaya menjadi miskin, yang mulia menjadi hina dan yang kuat menjadi lemah. Atas perbuatan mereka Allah SWT menghukum mereka dengan azab serta menghancurkan mereka.


BAB IV
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Kandungan ayat di atas dapat disimpulakan bahwa, sedangkan masih di dunia tidak ada kekuatan kita buat menangkis kekuatan Tuhan, apalagi jika datang azab-Nya di akhirat, ke mana kita akan menyembunyikan diri ? maka ada usaha dalam kehidupan ini. Sebab yang akan kita dapati di akahirat kelak, entah ganjaran mulia di syurga, entah bakaran api di jahannam, semuanya bergantung kepada jalan yang kita pilih sekarang.
Dalam ayat di atas iyalah bahwa kaum Quraisy telah mendapat nikmat yang demikian besarnya dari  pada Tuhan. Sejak zaman nenek-moyang mereka Nabi Ibrahim, negara Makkah telah menjadi pusat peribadatan seluruh kabila-kabilah Arab. Meskipun tanah mereka tandus dan kering, namun mereka tidak pernah kekurangan makan, sebab bertimbun-timbun makanan yang dibawa orang ke sana dari daerah luar.
B. Saran
Dengan adanya makalah ini semoga kita semua  dapat memahami betul akan makna ayat (Q.s Al-Anfal ayat 53). Kami berharap, apa yang manjadi pejelasan dalam makalah ini kemudian menjadi tambahan ilmu bagi pembaca agar kita semakin termotivasi  untuk dapat mengkaji makna ayat lain dalam AL-Qur’an  .
  Kami menyadari makalah ini adalah sebuah karya yang masih mempunyai banyak kekurangan, dan masih perlu banyak perbaikan, oleh karena itu kami membutuhkan kritik dan saran yang membangun dari pihak pembaca sebagai bentuk dukungan untuk perbaikan di lain kesempatan. Terima kasih yang sebanyak-banyaknya terhadap perhatian dan permohonan maaf atas segala kekurangan yang disengaja ataupun tidak disengaja. Semoga makalah ini dapat memicu kita semua untuk dapat menjadi pengkaji tafsir di hari depan.
DAFTAR PUSTAKA


Prof. A. Gani, H. Bustami, Al-Qur’an dan Terjemahan (Al-Mujamma’)
Al-Mahalli, Imam jalaluddin dan As-Suyuti, Imam Jalaluddin. 2010. Tafsir Jalalain(Jilid2). Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Shihab, M. Quraish. 2009. Tafsir Al-Mishbah (Jilid1), Jakarta pusat: Lentera Hati.
Quthb, Sayyid, Tafsir Fi Zhilalil-Qur’an, (Jakarta : Gema Insani Perss, 2003), hlm. 215.
Universitas Islam Indonesia.  Al Qur’an dan Tafsirnya,Yogyakarta, PT. Dana Bhati Wakaf.


[1]Prof. A. Gani, H. Bustami, Al-Qur’an dan Terjemahan (Al-Mujamma’), hlm, 270.
[2] Al-Mahalli, Imam jalaluddin dan As-Suyuti, Imam Jalaluddin, Tafsir Jalalain (Bandung : Sinar Baru Algensindo,2010), hlm
[3] Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta pusat : Lentera Hati, 2009), hlm. 570
[4] Ibid., 571
[5] Ibid., 572
[6] Shihab, M. Quraish, op.cit. hlm. 570
[7] Quthb, Sayyid, Tafsir Fi Zhilalil-Qur’an, (Jakarta : Gema Insani Perss, 2003), hlm. 215.
[8] Universitas Islam Indonesia, Al Qur’an dan Tafsirnya,(Yogyakarta, PT. Dana Bhati Wakaf),hlm. 19.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar