BAB
II
PENJELASAN
AYAT
A. Teks
dan Terjemahan Ayat
y7Ï9ºsŒ cr'Î/
©!$# öNs9
à7tƒ #ZŽÉitóãB
ºpyJ÷èÏoR
$ygyJyè÷Rr&
4’n?tã BQöqs%
4Ó®Lym (#rçŽÉitóãƒ
$tB
öNÍkŦàÿRr'Î/
žcr&ur ©!$#
ìì‹ÏJy™
ÒOŠÎ=tæ
“(siksaan) yang demikian itu adalah
Karena Sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan mengubah sesuatu nikmat yang
Telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu mengubah apa-apa
yang ada pada diri mereka sendiri, dan Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi
Maha Mengetahui” (QS. Al-Anfal 8 : 53)[1]
B. Makna
Mufradat
Ø
Kata (ذلِكَ) yang demikian itu disiksa-Nya orang-orang kafir.
Ø
Kata (لم يك) lam
yaku/tidak akan pada mulanya berbunyi (لم يكن)
lam yakun. Pengaruh huruf nun itu untuk mempersingkat, sekaligus
mengisyaratkan bahwa peringatan dan nasehat yang dikandung ayat ini hendaknya
segera disambut dan jangan diulur-ulur karena mengulur dan memperpanjang hanya
mempercepat siksa. Demikian yang kesan yang diperoleh al-Biqa’i.[3]
Ø
Kata
(نعمة) ni’mat dalah bentuk dari kata kerja (نعمه)
na’imah, (ينعم) yan’imu, (نعمة ومنعم) ni’matan wa man’ aman.
Menurut Ibnu Faris, kata na’ima berakar pada huruf-huruf (نون) nun, (عين)
ain, dan (ميم) mim. Yang mengandung makna pokok “kelapangan”
dan “kehidupan yang baik”. Kata ini juga bermakna segala sesuatu yang deberikan
seperti rezqi, harta atau lainnya”. Al-Asfahani menulis bahwa pengertian asal
dari kata ni’mat adalah ‘kelebihan’ atau pertambahan, seperti ketika
Anda yang tadinya tidak memiliki sesuatu kemudian memperoleh sesuatu itu.
Inilah yang dimaksud dengan ‘penambahan’ atau ‘kelebihan’ jika dilahat dari
Anda sebelumnya. Ini pula yang dinamai oleh bangsa agama sebagai ni’mat.
Ø
Penggunaan kata (قوم) qaum/kaum juga menunjukkan
bahwa hukum kemasyarakatan ini tidak
hanya tidak hanya berlaku bagi kaum muslimin atau satu suku, ras, dan penganut
agama tertentu, tetapi ia berlaku umum, kapan, dan di mana pun itu berada.[4]
Ø
Al-Qur’an
menjelaskan bahwa manusia memiliki sisi dalam yang dinamai (نفس) nafs/diri
bentuk jamaknya (أنفس) anfus dan juga manusia mempunyai sisi luar
yang dinamainya antara lain () jism/badan yang dijamak () ajsam.
Sisi dalam tidak selalu sama dengan sisi luar.[5]
C. Munasabah
Ayat
1.
Dalam (QS. Ar-Ra’ad :
11) menjelaskan keterkaitan ayat di atas tentang kata (لم يك)
tidak akan.
¼çms9 ×M»t7Ée)yèãB .`ÏiB Èû÷üt/ Ïm÷ƒy‰tƒ ô`ÏBur ¾ÏmÏÿù=yz ¼çmtRqÝàxÿøts† ô`ÏB ÌøBr& «!$# 3 žcÎ) ©!$# Ÿw çŽÉitóム$tB BQöqs)Î/ 4Ó®Lym (#rçŽÉitóム$tB öNÍkŦàÿRr'Î/ 3 !#sŒÎ)ur yŠ#u‘r& ª!$# 5Qöqs)Î/ #[äþqß™ Ÿxsù ¨ŠttB ¼çms9 4 $tBur Oßgs9 `Ïi`B ¾ÏmÏRrߊ `ÏB @A#ur
“Baginya (manusia)
ada malaikat-malaikat yang selalu menjaganya bergiliran, dari depan
dan belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah
tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada
pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap
sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada
pelindung bagi mereka selain Dia.
(QS. Ar~Ra’ad:11)
Ayat ini
serupa dengan firman-Nya: “sesungguhnya Allah tidak akan mengubah apa yang
terdapat pada suatu kaum/masyarakat sampai mereka mengubah apa yang terdapat
dalam diri mereka.”(QS. Ar-Ra’d (13)
: 11)
Kedua ayat tersebut, ayat pembahasan
ini dan ayat ar-Ra’d itu berbicara tentang perubahan, tetapi ayat pertama
berbicara tentang perubahan nikmat, sedangkan ayat ar-Ra’d menggunakan
kata (م) ma/apa sehingga mencakup perubahan apa pun,
yakni baik dari nikmat/positif menuju nikmat murka Ilahi/negatif maupun
dari negatif ke positif.
Ada beberapa
hal yang perlu digarisbawahi menyangkut kedia ayat di atas berbicara tentang perubahan sosial yang berbicara
tentang hukum-hukum kemasyarakatan, bukan menyangkut orang per orang atau individu. Ini
dipahami dari penggunaan kata kaum/masyarakat pada kedua ayat tersebut.
Karena
itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa perubahan sosial tidak dapat dilakukan oleh
seorang manusia saja. Memang, boleh saja perubahan bermula dari seseorang yang
ketika ia melontarkan dan menyebarluaskan ide-idenya ia baru sendirian, tetapi
perubahan baru terjdi bila ide yang disebarluaskannya menggelinding dalam
masyarakat. Pola pikir dan sikap perorangan itu “menular” kepada masyarakat
luas, sedikit demi sedikit, kemudian “mewabah” kepada masyarakat luas.[6]
2.
Dalam (QS. Maryam 19 : 95) dijelaskan
keterkaitan tentang ayat di atas mengenai kata (قوم) kaum.
öNßg=ä.ur Ïm‹Ï?#uä
tPöqtƒ
ÏpyJ»uŠÉ)ø9$#
#·Šösù
“Dan setiap orang dari mereka akan
datang kepada Allah sendiri-sediri pada Hari Kiamat.”
Karena ayat pembahasan tersebut
berbicara tentang kaum, ini berarti bahwa ketetapan atau sunnahtullah
yang dibicarakan ini berkaitan dengan duniawi, bukan ukhrawi. Hal ini mengantar
kita berkata bahwa ada pertanggungjawaban yang bersifat pribadi, dan ini akan
terjadi di akhirat kelak. Berdasrkan dalam (QS. Maryam : 95).
3. Dalam
(QS. al-anfal : 25) juga menjelaskan kaitan ayat tersebut mengenai kata (قوم) kaum.
(#qà)¨?$#ur ZpuZ÷FÏù žw ¨ûtù‹ÅÁè? tûïÏ%©!$# (#qßJn=sß öNä3YÏB Zp¢¹!%s{ ( (#þqßJn=÷æ$#ur žcr& ©!$# ߉ƒÏ‰x© É>$s)Ïèø9$#
“hindarilah cobaan yang tidak hanya
menimpa secara khusus orang-orang yang berlaku aniaya di antara kamu,
dan ketahuilah bahwa sesunggunya Allah sangat pedih pembalasan-Nya” (QS.
al-anfal : 25)
D.
Kandungan Ayat
Dari satu sisi menetapkan keadilan
Allah di dalam memperlakukan manusia. Sehingga., tidak dicabutNya dari mereka
kenikmatan yang diberikanNya kepada mereka kecuali sesudah mereka mengubah niat
mereka, mengubah perilaku dan sikapnya, dan membolak-balikkan aturanya.
Jika demikian, sudah sepantasnya Allah mengubah nikmat yang diberikanNya kepada
mereka sebagai ujian dan cobaan. Pasalnya, mereka tidak mempergunakannya secara
wajar dan tidak mensyukurinya.
Dari sisi lain, Allah memuliakan
makhluk yang bernama manusia ini dengan penghormatan sedemikian besar. Yakni,
dengan memberlakukan takdirNya sejalan dengan gerak dan tindakan manusia itu
sendiri. Dan dari sisi ketiga, memberikan tanggung jawab atas penghormatan yang
demikian besar ini. Maka, manusia dapa melestarikan nikmat Allah atas mereka
itu dan dapat menjadikannya ditambah oleh Allah, jika mereka mengakui dan
mensyukurinya. Hal ini sebagaimana mereka juga dapat melenyapkan nikmat
tersebut manakala mereka mengingkarinya dan menyombongkan diri, menyelewengkan
hati dan langkah-langkahnya.
Hakikat besar ini mencerminkan satu
sisi dari sisi-sisi “tashawwur islami terhadap hakikat manusia”, dan
hubungan qadar Allah dengannya di alam wujud ini. Juga hubungannya dengan alam
semesta dan hukum yang berlaku padanya. Dari sisi ini, tampak jelaslah harkat
manusia ini dalam timbangan Allah, dan betapa Allah memuliakannya dengan
memberikan harta semacam ini. Hal ini sebagaiman juga tampak sejauh mana
potensi manusia unutk melakuakn sesuatu dengan segala akibat yang bakal menimpa
dirinya dan apa yang ada disekitarnya.[7]
Hakikat
ini juga menggambarkan adanya hubungan kelaziman antara tindakan dan perbuatan
di dalam kehidupan dan aktivitas manusia. Juga menggambarkan keadilan Allah
yang mutlak di dalam menjadikan kelaziman ini sebagai salah satu sunnahNya di
dalam memberlakukan qadarNya yang dianiaya
Allah menyiksa orang-orang Quraisy karena
mereka mengingkari nikmat-nikmat Allah, ketika Allah mengutus seorang rasul
dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan ayat ayatnya, lalu mereka mendustakan,
bahkan mengusirnya dari negerinya, lalu memerangi secara bertubi-tubi. Allah
menyiksa mereka karena dosa-dosanya. Yang demikian
ini membuktikan Sunnatullah yang telah berlaku sejak duhulu. Allah tidak
merubah suatu nukmat yang telah berlaku sejak dahulu. Allah tidak merubah suatu
nikmat yang telah dianugrahkan-Nya kepadase suatu, sehinggah kaum itu mengubah
apa yang ada pada diri merkasendiri. Ayat ini mengandung isyarat, bahwa nikmat-nikmat
pemberian Allah itu yang diberikan kepada umat atau perorangan, selalu
dikaitkan kelangsungannya dengan akhlak dan amal mereka mereka itu sendiri.
Jika akhlak dan prbuatan mereka terpelihara baik, maka nikmat pemberian Allah
itupun tetap berada pada bersama mereka dan tidak akan dicabut. Akan tetapi
manakala mereka sudah merubah nikmat-nikmat itu yang berbentuk akidah, akhlak
dan perbuatan baik, maka Allah ta’ala akan meroboh keadaan mereka dan akan
dicabut nikmat pemberian-Nya dari mereka sehingga yang kaya jadi miskin yang
mulia jadi hina dan yang kuat jadi lemah. Dan bukanlah sekali-kali kebahagiaan
umat itu dikaitkan dengan kekayaan atau jumlah bilangan yang banyak seperti
disangka oleh sebagian besar kaum musyrikin yang diceritakan oleh Allah dengan
mengubah. [8]
BAB III
Perubahan Masyarakat
dalam QS. Al-Anfal 8 : 35
Perubahan
manusia yang dimaksud dalam QS. Al-Anfal 8 : 35 adalah mengubah niat mereka,
mengubah perilaku dan sikapnya yang tidak mengelolah nikmatNya dengan baik.
Atas niat mereka yang tidak baik terhadap nikmat Allah yang diberikan kepada
mereka tidak dipergunakan secara wajar dan tidak mensyukurinya. Dengan niat
mereka mempergunakan nikmat itu untuk memerangi kaum muslimin dan ketidak
kepatuhan mereka dengan perintah yang diberikan Allah dengan mengingkari ayat-ayatNya.
Perilaku mereka
terhadap nikmat yang diberikan Allah SWT kepada mereka di muka bumi dan telah
menjadikan mereka khalifahNya. Semua ini diberkan kepada manusia sebagai ujian
dan cobaan. Dengan tujuan untuk menilai mereka, apakah mereka mau memperlakukan
nikmat dengan baik. Ternyata perilakuan mereka terhadap nikmat itu justru
menyombongkan diri dengan nikmat yang diberikan kepada merek itu. Mereka terpedaya oleh nikmat dan kekuatan itu
lantas menjadi sewenang-wenang, melampaui batas, kafir dan durhaka.
Sedangkan sikap
mereka terhadap nikmat Allah sangat melampaui batas kafir dan ayat-ayat Allah
pun didatangkan kepada mereka, tetapi mereka mengkufurinya. Pada waktu itu,
berlakulah terhadap mereka sunnah Allah terhadap orang-orang kafir sesudah
sampai kepada mereka aya-ayatNya, tetapi mereka mengingkarinya. Pada waktu itu
berubalah kedaan mereka dengan mengubah nikmat Allah menjadi yang kaya menjadi
miskin, yang mulia menjadi hina dan yang kuat menjadi lemah. Atas perbuatan
mereka Allah SWT menghukum mereka dengan azab serta menghancurkan mereka.
BAB
IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kandungan ayat di atas dapat disimpulakan bahwa,
sedangkan masih di dunia tidak ada kekuatan kita buat menangkis kekuatan Tuhan,
apalagi jika datang azab-Nya di akhirat, ke mana kita akan menyembunyikan diri
? maka ada usaha dalam kehidupan ini. Sebab yang akan kita dapati di akahirat
kelak, entah ganjaran mulia di syurga, entah bakaran api di jahannam, semuanya
bergantung kepada jalan yang kita pilih sekarang.
Dalam ayat di atas iyalah bahwa kaum Quraisy telah mendapat
nikmat yang demikian besarnya dari pada
Tuhan. Sejak zaman nenek-moyang mereka Nabi Ibrahim, negara Makkah telah menjadi pusat
peribadatan seluruh kabila-kabilah Arab. Meskipun tanah mereka tandus dan kering,
namun mereka tidak pernah kekurangan makan, sebab bertimbun-timbun makanan yang dibawa orang ke
sana dari daerah luar.
B. Saran
Dengan
adanya makalah ini semoga kita semua
dapat memahami betul akan makna ayat (Q.s Al-Anfal ayat 53). Kami berharap, apa
yang manjadi pejelasan dalam makalah ini kemudian menjadi tambahan ilmu bagi
pembaca agar kita semakin termotivasi
untuk dapat mengkaji makna ayat lain dalam AL-Qur’an .
Kami menyadari makalah ini adalah sebuah
karya yang masih mempunyai banyak kekurangan, dan masih perlu banyak perbaikan,
oleh karena itu kami membutuhkan kritik dan saran yang membangun dari pihak
pembaca sebagai bentuk dukungan untuk perbaikan di lain kesempatan. Terima
kasih yang sebanyak-banyaknya terhadap perhatian dan permohonan maaf atas
segala kekurangan yang disengaja ataupun tidak disengaja. Semoga makalah ini
dapat memicu kita semua untuk dapat menjadi pengkaji tafsir di hari depan.
DAFTAR PUSTAKA
Prof. A. Gani, H. Bustami, Al-Qur’an dan Terjemahan (Al-Mujamma’)
Al-Mahalli, Imam jalaluddin
dan As-Suyuti,
Imam Jalaluddin. 2010. Tafsir Jalalain(Jilid2). Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Shihab, M. Quraish. 2009. Tafsir Al-Mishbah (Jilid1),
Jakarta pusat: Lentera Hati.
Quthb, Sayyid, Tafsir Fi Zhilalil-Qur’an,
(Jakarta : Gema Insani Perss, 2003), hlm. 215.
Universitas Islam Indonesia. Al
Qur’an dan Tafsirnya,Yogyakarta, PT. Dana Bhati Wakaf.
[1]Prof.
A. Gani, H. Bustami, Al-Qur’an dan Terjemahan
(Al-Mujamma’), hlm, 270.
[2]
Al-Mahalli,
Imam jalaluddin dan As-Suyuti, Imam Jalaluddin, Tafsir Jalalain (Bandung
: Sinar Baru Algensindo,2010), hlm
[4]
Ibid., 571
[5]
Ibid., 572
[6]
Shihab, M. Quraish, op.cit. hlm. 570
[7]
Quthb, Sayyid, Tafsir Fi Zhilalil-Qur’an, (Jakarta : Gema Insani
Perss, 2003), hlm. 215.
[8]
Universitas Islam Indonesia, Al Qur’an dan Tafsirnya,(Yogyakarta, PT. Dana
Bhati Wakaf),hlm. 19.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar